Khamis, 28 Julai 2011

Aqidah ASWJ : Allah Ada Tanpa Bertempat



AQIDAH AHLUSSUNNAH: ALLAH ADA TANPA TEMPAT: Wahhabiyyah Musyabbihah Menyelewengkan Firman Allah QS Thaha:5 Utk Menetapkan Keyakinan Rusak Mereka.. Anda Jangan Terkecoh!!!

Firman Allah dalam QS. Thaha: 5 yang kita maksud adalah: الرّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه: 5)
Di antara ayat-ayat mutasyabihat yang tidak boleh kita pahami makna zhahirnya adalah firman Allah dalam QS. Thaha: 5 ini. Para ulama Salaf tidak banyak menggeluti pentakwilan ayat ini dengan menentukan makna tertentu baginya. Mereka hanya mengatakan bahwa makna “istawa” dalam ayat tersebut adalah makna yang sesuai bagi keagungan Allah, dengan meyakini kesucian-Nya dari menyerupai sifat-sifat makhluk. Para ulama Salaf sepakat dalam menafikan sifat-sifat benda dari Allah. Adapun riwayat yang menyatakan bahwa al-Imam Malik suatu ketika ditanya tentang makna istawa, lalu beliau berkata: “al-Istiwa’ Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” adalah riwayat yang tidak benar. Riwayat yang benar dari al-Imam Malik tentang ini adalah riwayat yang telah disebutkan oleh al-Hafizh al-Bayhaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Shifat dari jalur sanad Abdullah ibn Wahb dan Yahya ibn Yahya, sebagai berikut:

”Telah mengkabarkan kepada kami Abu Abdillah, berkata: Telah mengkabarkan kepadaku Ahmad ibn Muhammad ibn Isma’il ibn Mahran, berkata: Telah mengkabarkan kepadaku ayahku (Muhammad ibn Isma’il), berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Abu al-Rabi’ ibn Akhi Risydin ibn Sa’ad, berkata: Aku telah mendengar Abdullah ibn Wahb berkata: Suatu ketika kami duduk bersama Malik ibn Anas, tiba-tiba seseorang masuk seraya berkata: ”Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-’arsy istawa, bagaimanakah istawa-Nya?”. Ia (Abdullah ibn Wahb) berkata: ”Saat itu al-Imam Malik mengeluarkan keringat dingin sambil menunduk karena marah atas pertanyaan tersebut, lalu ia mengangkat kepala sambil berkata: ”ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, sebagaima Dia mensifati diri-Nya demikian, tidak boleh dikatakan baginya bagaimana, karena pertanyaan bagaimana bagi-Nya dihilangkan (Artinya mustahil, karena “bagaimana” hanya untuk mempertanyakan sifat benda), engkau adalah seorang yang berpemahaman buruk dan seorang ahli bid’ah, keluarkanlah orang ini!”. Ia (Abdullah ibn Wahb) berkata: ”Maka saat itu juga orang tersebut dikeluarkan -dari majelis Al-Imam Malik-” (Lihat al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).
Selain jalur sanad di atas, dalam jalur sanad lainnya al-Hafizh al-Bayhaqi menuliskan sebagai berikut:
“Telah mengkabarkan kepada kami Abu Bakar Ahmad ibn Muhammad ibn al-Harits al-Faqih al-Ashfahani, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Abu Muhammad Abdullah ibn Ja’far ibn Hayyan yang dikenal denga Abu al-Syaikh, berkata: Telah mengkabarkan kepada kami Abu Ja’far ibn Zairak al-Bizzi, berkata: Aku mendengar Muhammad ibn ‘Amr ibn al-Nadlr al-Naisaburi, berkata: Aku mendengar Yahya ibn Yahya berkata: Suatu ketika kami duduk bersama Malik ibn Anas, tiba-tiba seseorang masuk seraya berkata: ”Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy istawa…, bagaimanakah istawa Allah?”. Ia (Yahya ibn Yahya) berkata: Saat itu Al-Imam Malik menunduk dan berkeringat karena marah mendapat pertanyaan tersebut, kemudian ia berkata: ”al-Istiwa’ ghair Majhul (artinya jelas penyebutan “istawa” dalam al-Qur’an), Wa al-Kayf Ghair Ma’qul (artinya; istawa tidak boleh dimaknai dengan sifat-sifat benda), beriman dengan adanya “istawa” adalah kewajiban, mempertanyakan bagaimana istawa (Kayf istawa?) adalah bid’ah, dan saya melihatmu sebagai seorang ahli bid’ah”. Kemudian al-Imam Malik memerintahkan agar orang tersebut dikeluarkan -dari majelisnya-”(Lihat al-Bayhaqi dalam al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408).
Riwayat yang yang menyebutkan bahwa al-Imam Malik berkata: “al-Istiwa Ma’lum Wa al-Kayfiyyah Majhulah” adalah riwayat yang tidak memiliki sanad yang benar. Riwayat ini seringkali dipakai oleh kaum Musyabbihah, seperti kaum Wahhabiyyah di masa sekarang, karena sejalan dengan hawa nafsu mereka dalam menetapkan keserupaan Allah dengan makhluk-Nya. Dalam keyakinan kaum Musyabbihah bahwa Allah memiliki Kayf (sifat benda) dalam istawa-Nya, hanya saja -menurut mereka- Kayf tersebut tidak dapat kita ketahui. Mereka telah menetapkan Kayf (sifat benda) bagi Allah, mereka tidak mensucikan Allah dari Kayf. Seringkali mereka mengatakan; ”Allah bersemayam di atas arsy, tapi tidak seperti bersemayam kita”. Ini adalah kata-kata yang menyesatkan, karena di dalamnya sama dengan menetapkan sifat benda (kayf) bagi Allah.

Sementara itu, para ulama Khalaf berbeda dengan para ulama Salaf, mereka melakukan takwil terhadap ayat tersebut. Mereka mengatakan bahwa makna istawa dalam ayat tersebut berarti menguasai dan menundukkan (al-Qahr wa al-Ghalabah wa al-Istila’). Menafsirkan makna istawa dengan menundukkan (al-Istila’) tidak berarti menuntut keharusan adanya pertarungan dan mengalahkan terlebih dahulu (Sabq al-Mughalabah). Karena yang dimaksud dengan makna al-Istila’ di sini adalah al-Qahr; yang berarti menguasai tanpa harus mengalahkannya terlebih dahulu. Karena sifat al-Qahr ini adalah sifat yang terpuji bagi Allah, dan Allah sendiri memuji diri-Nya dengan sebutan nama al-Qahhar dan al-Qahir; yang berarti menguasai seluruh makhluk-Nya. Tentang ini Allah berfirman:
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ (الأنعام: 18)

Artinya; “Dia Allah yang menguasai para hamba-Nya”.
Makna istawa dalam pengertian ”menguasai” (al-Istila’ wa al-Qahr) juga telah dinyatakan oleh seorang ahli fiqih terkemuka, ahli hadits, dan ahli bahasa, yaitu al-Imam al-Hafizh Taqiyuddin ‘Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki, beliau berkata:
“Seorang yang mentakwil semacam ini (takwil Istawa dengan Istawla) sama sekali tidak melakukan kesalahan yang dilarang, dan juga orang tersebut tidak mensifati Allah dengan sifat yang tidak boleh bagi-Nya (Artinya takwil tersebut sesuatu yang dibenarkan)” (Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 2, h. 107).
Takwil Istawa dalam makna Istwla ini, juga telah diberlakukan oleh al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi, beliau berkata:
“Jika ada yang mengatakan bahwa memaknai istawa dengan istaula (menundukkan) memberikan pemahaman bahwa seakan-akan Allah sebelumnya tidak menguasai arsy lalu kemudian Allah menundukkan dan menguasainya, Jawab; Jika demikian bagaimana dengan firman Allah: Wa Huwa al-Qahur Fawqa ’Ibadih” (QS. al-An’am: 18), yang dengan jelas mengatakan bahwa Allah menguasai para hamba-Nya, adakah itu berarti sebelum Allah menciptakan para hamba tersebut Dia tidak menguasai mereka?! Adakah itu berati Allah tidak menguasai mereka lalu kemudian menguasai dengan menundukkan mereka?! Bagaimana mungkin dikatakan demikian, padahal para hamba itu adalah makhluk-makhluk yang baru, Allah yang menciptakan mereka dari tidak ada menjadi ada. Justru sebaliknya, –kita katakan kepada mereka– (kaum Musyabbihah): Jika makna ayat tersebut seperti yang kalian dan orang-orang bodoh sangka bahwa Allah bertempat dengan Dzat-Nya di atas arsy, maka itu berarti menurut kalian Allah berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, karena arsy itu makluk Allah. Artinya menurut pendapat kalian Allah berubah dari tidak butuh kepada arsy kemudian menjadi butuh kepadanya setelah Dia menciptakannya. (Dengan demikian harus dipahami bahwa arsy itu baru, sementara istawa adalah sifat Allah yang azali). Maka itu, makna bahwa makna Allah Maha Tinggi adalah dalam pengertian keagungan dan derajat-Nya, bukan dalam pengertian tempat, karena Allah Maha Suci dari membutuhkan kepada tempat dan arah” (Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ’Ulumiddin, j. 2, h. 108-109).
Kemudian al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi menuliskan pula:
“Ada beberapa orang merasa bahwa diri mereka sebagai orang yang paham dalam masalah ini, seandainya aku tidak megkhawatirkan akan rusaknya pemahaman orang-orang awam dan pemikiran mereka maka aku akan penuhi kitab ini dengan penjelasan panjang lebar sebagai bantahan terhadap orang-orang tersebut. Mereka itu mengatakan: ”Kita harus mengambil makna zhahih teks-teks mutasyabihat dan memberlakukannya sebagaimana apa adanya yang mengindikasikan bahwa Allah memiliki keserupaan atau bahwa Allah memiliki bentuk dan ukuran serta anggota badan”. Mereka biasanya berpegang kepada ayat QS. Ali ‘Imran: 7 bahwa yang mengetahui takwil itu hanya Allah saja, sementara kita tidak boleh mentakwil. Orang-orang semacam ini, demi Allah, lebih berbahaya dari pada orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi dan orang-orang penyembah berhala. Karena kesesatan dan kekufuran orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi dan para penyembah berhala jelas terlihat dengan kasat mata dan dapat dihindari oleh setiap orang Islam. Namun kesesatan dan kekufuran orang-orang tersebut di atas dapat tersamar bagi orang-orang Islam yang berpemahaman lemah hingga mereka ikut menjadi sesat seperti orang-orang tersebut. Mereka akan menjelaskan dan menanamkan keyakinan terhadap orang-orang yang akan disesatkannya bahwa Allah memiliki anggota badan, memiliki sifat-sifat tubuh, seperti naik, turun, bersandar, terlentang, bersemayam dan bertempat, pulang pergi dari satu arah ke arah yang lain. Orang yang ikut dengan mereka akan berkesimpulan bahwa Allah tidak ubahnya seperti benda-benda. Orang ini kemudian akan menjadi sesat tanpa ia sadari” (Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ’Ulumiddin, j. 2, h. 108-109).

Kesimpulan

Firman Allah dalam QS. Thaha: 5 tersebut di atas tidak boleh dipahami bahwa Allah bertempat, duduk, atau bersemayam di atas arsy. Karena arsy adalah makhluk Allah, dan Allah mustahil membutuhkan kepada makhluk-Nya. Sebelum menciptakan arsy; Allah ada tanpa arsy, demikian pula setelah menciptakan arsy Dia ada tanpa arsy. Tetapi makna “Istawa” dalam ayat tersebut adalah “Yang Maha Menguasai”. Ingat; ketetapan akidah Rasulullah yang diyakini oleh mayoritas umat Islam dari generasi ke generasi; yaitu kaum Ahlussunnah adalah; “ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH”.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan