Sabtu, 21 Julai 2012

Hukum Beramal Dengan Hadith Dhaif-2





Hukum Beramal Dengan Hadith Dhaif

Ada juga yang membidahkan amal ibadat yang berdalilkan Hadis dhaif.
Pendapat yang macam begini adalah keliru kalau tidak akan dikatakan salah
besar.
Hadith yang dha’if bukanlah Hadits yang maudu’ ( hadits dibuat buat ), 
tetapi hanya Hadits yang lemah sanadnya, dan bukan Hadits yang tidak
benar, bukan Hadits bohong, kerana asalnya dari Nabi juga.
Hadits yang dikatakan dha’if atau lemah ini ialah Hadits yang derajatnya
kurang sedikit dari Hadits Shahih atau Hadits Hasan.

Hal ini dapat dicontohkan umpamanya kepada sebuah Hadits dari Nabi, 
kemudian turun kepada Mansur, turun lagi kepada Zeid, turun lagi kepada
Khalid dan akhirnya turun kepada Ibnu Majah atau Abu Daud. Ibnu Majah 
atau Abu Daud membukukan Hadits itu dalam kitabnya. Kalau orang yang 
bertiga tersebut, yaitu Mansur, Zeid dan Khalid terdiri dari orang baik-baik, 
dengan arti baik perangainya, saleh orangnya, tidak pelupa hafalannya, 
maka haditsnya itu dinamai hadits shahih.

Tetapi kalau ketiganya atau salah seorang dari padanya terkenal dengan
akhlaknya yang kurang baik, umpamanya pernah makan di jalanan, 
pernah buang air kecil berdiri, pernah suka lupa akan hafalannya, 
maka haditsnya dinamai Hadits dha’if (lemah).

Pada hakikatnya Hadits yang semacam ini adalah dari Nabi juga,
tetapi “sanadnya” kurang baik. Bukan Haditsnya yang kurang baik. Ada lagi 
yang menyebabkan Hadits itu menjadi dha’if, ialah hilang salah seorang 
daripada rawinya. Umpamanya seorang Thabi’in yang tidak berjumpa 
dengan Nabi mengatakan : Berkata Rasulullah, pada hal ia tidak berjumpa 
dengan Nabi. Hadits ini dinamai Hadits Mursal, yaitu Hadist yang dilompatkan 
ke atas tanpa melalui jalan yang wajar. Hadits ini ialah dha’if juga. 
Dan banyak lagi yang menyebabkan dan membikin sesuatu Hadits 
menjadi dha’if atau lemah.

Tentang memakai Hadits dha’if untuk dijadikan dalil, terdapat perbedaan
 pendapat  di antara Imam-imam mujtahid, yaitu :

1. Dalam madzhab syafi’I Hadits dha’if tidak dipakai untuk dalil bagi penegak
hukum,  tetapi dipakai untuk dalil bagi “ fadhailul a’mal”. Fadhailul A’mal 
maksudnya ialah amal  ibadat yang sunat-sunat, yang tidak bersangkut 
dengan orang lain, seperti dzikir, doa,  tasbih, wirid dan lain- lain.Hadits 
Mursal tidak dipakai juga bagi penegak hukum dalam madzhab Syafi’e 
kerana Hadits Mursal juga Hadits dha’if. Tetapi dikecualikan mursalnya 
seorang Thabi’in bernama Said Ibnul Musayyab.

2. Dalam madzhab Hambali lebih longgar. Hadits dha’if bukan saja dipakai
dalam Fadhailul A’mal, tetapi juga bagi penegak hukum, dengan syarat 
dha’ifnya itu tidak keterlaluan.

3. Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad memakai Hadits yang
dha’if kerana Mursal, baik untuk Fadhailul A’mal mahupun bagi penegak 
hukum. Nah, di sini nampak bahwa Imam-imam Mujtahid memakai 
Hadits-hadits dha’if untuk dalil kerana Hadits itu bukanlah Hadits yang 
dibuat-buat, tetapi hanya lemah saja sifatnya. Kerana itu tidaklah tepat 
kalau amal-amal ibadat yang berdasarkan kepada Hadits dha’if 
dikatakan bid’ah, apalagi kalau dikatakan bid’ah dhalalah.

Dipetik dari buku 40 Masalah Agama Jilid ke 3 oleh K.H. SIRADJUDDIN ABBAS.





Tiada ulasan:

Catat Ulasan