Sabtu, 29 Oktober 2016

Ada yang berusaha menyamakan golongan Asya’irah dengan Wahhabi


JANGAN MAIN FITNAH

Sebagian orang di Nusantara, ada yang berusaha menyamakan golongan Asya’irah dengan Wahabi, bahwa kedua-duanya sama-sama ada yang ekstrem atau ghuluw dan ada yang moderat atau mu’tadil. Menurut Wahabi tersebut, di kalangan Asy’ariyah ada tokoh yang bernama Ibnu Tumart yang banyak membunuh orang untuk menyebarkan madzhabnya. Lalu ia mengatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi adalah seorang tokoh moderat dan mu’tadil, bukan tokoh ekstrem. Ia juga mengutip pernyataan pendiri Wahabi tersebut yang isinya tidak mengkafirkan umat Islam di luar kelompoknya.

Catatan kami terhadap pernyataan Wahabi tersebut adalah sebagai berikut:

1) Madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah berbeda dengan Wahabi, seperti perbedaan air dengan daun talas yang tidak akan dapat dipertemukan. Madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah disebarluaskan dengan ilmu pengetahuan dan kesadaran akal. Oleh karena itu, Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi bukan ulama politik dan bukan ulama yang dekat dengan kekuasaan. Penyebaran madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah, murni melalui ilmu pengetahuan.

Hal ini berbeda dengan Wahabi yang disebarkan dengan pedang dan darah. Muhammad bin Abdul Wahhab bergabung dengan Muhammad bin Sa’ud untuk membangun kerajaan Saudi Arabia dengan akidah mengkafirkan darah harta benda kaum Muslimin. Sekitar setengah juta umat Islam yang dibunuh oleh pendiri Wahabi bersama anak buahnya. Kalau Anda tidak percaya, silahkan Anda baca kitab Tarikh Najd karya Husain bin Ghannam, murid pendiri Wahabi.

Dewasa ini, ajaran Wahabi disebarkan melalui uang dan jabatan.

Sedangkan kasus tokoh Ibnu Tumart yang membunuh banyak orang untuk membangun kerajaannya, itu bukan atas rekomendasi para ulama Asya’irah. Umat Islam Asya’irah tidak pernah menjadikan Ibnu Tumart sebagai ulama mu’tabar dalam madzhab Asy’ariyah. Bahkan umat Islam tidak banyak yang mengenal ketokohan beliau.

2) Ahlussunnah Wal-Jamaah, dalam hal ini Asya’irah dan Mauturidiyah, tidak memiliki konsep takfir, pengkafiran dan penghalalan darah dan harta umat Islam di luar kelompoknya. Hal ini berbeda dengan Wahabi, yang memiliki konsep takfir terhadap umat Islam di luar golongannya. Sedangkan pembacaan sebagian Wahabi, bahwa pendiri Wahabi tidak mengkafirkan umat Islam, itu adalah pembacaan yang sepotong terhadap kitab al-Durar al-Saniyyah dan belum pernah membaca dengan kepala yang dingin dan hati yang jernih terhadap kitab Tarikh Najd. Orang yang membaca kitab al-Durar al-Saniyyah dan Tarikh Najd dengan kepala yang dingin dan hati yang jernih, akan berkesimpulan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikutnya adalah Khawarij ekstrem masa sekarang.

3) Dalam kitab al-Durar al-Saniyyah ada beberapa pernyataan pendiri Wahabi bahwa ia tidak mengkafirkan umat Islam di luar golongannya. Akan tetapi pernyataan tersebut bertentangan dengan hal:

Pertama) sebagian besar pernyataan pendiri Wahabi justru mengkafirkan umat Islam di luar golongannya dan bahkan mengkafirkan guru-gurunya. Sebagai contoh adalah pernyataan beliau  dalam al-Durar al-Saniyyah juz 10 hlm 51 berikut ini:

وَأَنَا أُخْبِرُكُمْ عَنْ نَفْسِيْ وَاللهِ الَّذِيْ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ، لَقَدْ طَلَبْتُ الْعِلْمَ، وَاعْتَقَدَ مَنْ عَرَفَنِيْ أَنَّ لِيْ مَعْرِفَةً، وَأَنَا ذَلِكَ الْوَقْتَ، لاَ أَعْرِفُ مَعْنَى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ أَعْرِفُ دِيْنَ اْلإِسْلاَمِ، قَبْلَ هَذَا الْخَيْرِ الَّذِيْ مَنَّ اللهُ بِهِ؛ وَكَذَلِكَ مَشَايِخِيْ، مَا مِنْهُمْ رَجُلٌ عَرَفَ ذَلِكَ. فَمَنْ زَعَمَ مِنْ عُلَمَاءِ الْعَارِضِ: أَنَّهُ عَرَفَ مَعْنَى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، أَوْ عَرَفَ مَعْنَى اْلإِسْلاَمِ قَبْلَ هَذَا الْوَقْتِ، أَوْ زَعَمَ مِنْ مَشَايِخِهِ أَنَّ أَحَدًا عَرَفَ ذَلِكَ، فَقَدْ كَذِبَ وَافْتَرَى، وَلَبَّسَ عَلَى النَّاسِ، وَمَدَحَ نَفْسَهُ بِمَا لَيْسَ فِيْهِ.

“Aku kabarkan kepada kalian tentang diriku, demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, aku telah menuntut ilmu, dan orang yang dulu mengenalku meyakini aku memiliki pengetahuan, padahal aku pada waktu itu belum mengerti makna la ila illallah, dan aku tidak mengetahui agama Islam, sebelum memperoleh kebaikan yang Allah karuniakan ini. Demikian pula guru-guruku, tak seorang pun di antara mereka yang mengetahui hal tersebut. Barangsiapa yang menyangka dari ulama daerah ‘Aridh (Riyadh), bahwa ia mengetahui makna la ilaha illallah atau mengetahui makna Islam sebelum waktu sekarang ini, atau menyangka bahwa di antara guru-gurunya ada yang mengetahui hal tersebut, maka ia telah berdusta, berbuat-buat, menipu manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang tidak ada padanya.”

Pernyataan Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut mengandung beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebelum menyebarkan ajaran Salafi-Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahhab mengaku belum mengetahui makna la ila illallah dan belum mengerti agama Islam. Pernyataan ini secara tidak langsung menganggap bahwa dirinya termasuk orang kafir sebelum menyebarkan ajaran Salafi-Wahabi.

2. Tidak seorang pun dari ulama Riyadh dan guru-gurunya yang mengetahui makna la ilaha illallah dan mengetahui agama Islam. Pernyataan ini berarti mengkafirkan semua guru-gurunya dan semua ulama yang ada.

3. Ajaran Salafi-Wahabi yang didakwahkannya, tidak ia pelajari dari guru-gurunya, akan tetapi ia terima dari Allah sebagai karunia. Di sini kita patut mempersoalkan, bagaimana caranya Muhammad bin Abdul Wahhab menerima ajaran Salafi-Wahabi tersebut dari Allah? Apabila ia memperoleh ajaran tersebut dari wahyu, secara tidak langsung ia mengaku nabi, dan tidak ada bedanya antara dia dengan Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani. Hal ini tidak mungkin terjadi dan ia akui bagi dirinya. Apabila ia menerimanya bukan dari wahyu, maka kemungkinan ia menerimanya dari setan, dan hal ini tidak mungkin ia akui. Dan ada kemungkinan ia terima dari pikirannya sendiri, yang tidak ada jaminan bahwa hasil pikirannya tersebut dipastikan benar sebagaimana hasil pikiran para nabi. Demikian tersebut bertentangan dengan metode kaum Muslimin dalam menerima ilmu agama, dimana ilmu agama mereka terima melalui mata rantai sanad, dari guru ke guru sebelumnya secara berkesinambungan sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Paparan di atas menyimpulkan bahwa ajaran Salafi-Wahabi, berdasarkan testimoni pendirinya, tidak diperoleh dari para ulama, akan tetapi ia peroleh dari hasil pemikirannya sendiri, dan dianggapnya sebagai anugerah dari Allah, lalu kemudian ia doktrinkan kepada para pengikutnya. Karena pendiri Salafi-Wahabi tidak mengakui keilmuan para ulama, termasuk guru-gurunya sendiri. Bahkan secara terang-terangan ia mengatakan, bahwa sebelum lahirnya dakwah Salafi-Wahabi, tidak seorangpun ulama –termasuk guru-gurunya-, yang mengetahui makna la ilaha illallah dan mengetahui agama Islam. Hal ini berarti pengkafiran terhadap seluruh ulama dan umat Islam dan mengkafirkan dirinya sendiri. Kesalahan fatwa ini, telah dibantah dalam bagian sebelumnya dan terbantah dengan bahasan berikut ini.

Kedua) peperangan yang dilakukan oleh pendiri wahabi, adalah berangkat dari konsep takfir, pengkafiran dan penghalalan darah dan harta benda kaum Muslimin.

4) Mengapa pendiri Wahabi pernah mengeluarkan pernyataan bahwa ia tidak mengkafirkan umat Islam? Hal tersebut sebagai bukti ketidakaliman beliau hal ilmu agama. Syaikh al-Albani, pernah mengeluarkan pernyataan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sangat bodoh dalam bidang ilmu hadits. Di satu sisi, pendiri Wahabi adalah seorang yang temperamen, mudah marah, mudah emosi sehingga mengkafirkan orang dan menghalalkan darah umat Islam. Akan tetapi begitu para ulama menyerang sikapnya yang mudah mengkafirkan, ia pun dengan ketidakmampuannya lalu mengatakan bahwa ia tidak mengkafirkan. Dan hujjah semacam ini yang juga sering dilakukan oleh pengikutnya hingga hari ini. Wallahu a’lam.

Johor Bahru Malaysia

PENDAPAT SELURUH IMAM MADZHAB MENGENAI PENOLAKAN AQIDAH WAHHABI

BERIKUT PENDAPAT SELURUH IMAM MADZHAB MENGENAI PENOLAKAN AQIDAH WAHABI SETAN NAJD YANG MENYESATKAN :

 1- Imam Abu hanifah:
ﻻﻳﺸﺒﻪ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻦ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ ﻭﻻ
ﻳﺸﺒﻬﻪ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ
Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya,
dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al
Akbar, karangan Imam Abu Hanifah: “ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan
kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’ala ber istiwa atas
Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak berada/menetap
di atas Arasy, Dialah yg menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa
memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada
yang lain, sudah pasti Dia tidak mampu mencipta dan tidak mampu
mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan
sifat duduk dan bertempat maka sebelum dicipta Arasy dimanakah
Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”.

Amat jelas di atas bahwa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah
dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam
(duduk) Allah di atas Arasy. Semoga Mujassimah diberi hidayah
sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.

2-Imam Syafii:
ﺍﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻛﺎﻥ ﻭﻻ ﻣﻜﺎﻥ ﻓﺨﻠﻖ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ
ﻭﻫﻮ ﻋﻠﻰ ﺻﻔﺘﻪ ﺍﻷﺯﻟﻴﺔ ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻗﺒﻞ
ﺧﻠﻘﻪ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻻﻳﺠﻮﺯ ﻋﻠﻴﻪ :ﺍﻟﺘﻐﻴﻴﺮ s
sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari zaman azali) dan
tempat (sewaktu) belum diciptanya (tempat), kemudian Allah
menciptakan tempat dan Dia tetap dengan sifat-Nya yang azali itu
sebagaimana sebelum terciptanya tempat, tidak mungkin Allah
(mengalami) perubahan (dg butuh tempat). Dinuqilkan oleh Imam Al-
Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-
Sadatil Muttaqin jilid 2 hal. 23

3-Imam Ahmad bin Hanbal :
- ﺍﺳﺘﻮﻯ ﻛﻤﺎ ﺍﺧﺒﺮ ﻻ ﻛﻤﺎ ﻳﺨﻄﺮ ﻟﻠﺒﺸﺮ
Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di
dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia.
Dinuqilkan oleh Imam al-Rifa’i dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan
juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.
ﻭﻣﺎ ﺍﺷﺘﻬﺮ ﺑﻴﻦ ﺟﻬﻠﺔ ﺍﻟﻤﻨﺴﻮﺑﻴﻦ ﺍﻟﻰ
ﻫﺬﺍ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪ ﻣﻦ ﺃﻧﻪ -ﻗﺎﺋﻞ ﺑﺸﻰﺀ
ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻬﺔ ﺃﻭ ﻧﺤﻮﻫﺎ ﻓﻜﺬﺏ ﻭﺑﻬﺘﺎﻥ
ﻭﺍﻓﺘﺮﺍﺀ ﻋﻠﻴﻪ
Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang
jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini ( Ahmad
bin Hanbal ) bahwa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada
di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan
ke atasnya (Imam Ahmad) Kitab Fatawa Haditsiah karangan Ibn Hajar al- Haitami

4- Imam Malik :
ﺍﻻﺳﺘﻮﺍﺀ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﺠﻬﻮﻝ ﻭﺍﻟﻜﻴﻒ ﻏﻴﺮ
ﺍﻟﻤﻌﻘﻮﻝ ﻭﺍﻻﻳﻤﺎﻥ ﺑﻪ ﻭﺍﺟﺐ ﻭ ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ ﺑﺪﻋﺔ
ﻋﻨﻪ
Maknanya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran)
dan kaif (bentuk) tidak diterima akal, dan iman dengannya wajib, dan
bertanya tentangnya (bagaimana istiwanya Allah) adl bid’ah (dlolalah)
.lihat disini : imam malik hanya menulis kata istiwa (ﺀﺍﻮﺘﺳﻻ) bukan
memberikan makna dhahir jalasa atau duduk atau bersemayam atau
bertempat (istiqrar)

Kesimpulan:
dengan memperhatikan fatwa ke 4 imam madzhab Ahlussunnah wal
jama’ah di atas, maka jelas aqidah mereka adalah aqidah yg benar dan
lurus, menolak tajsim dan menolak pemberian sifat yang seperti
makhluk-Nya seperti bertempat atau ada di arah tertentu.
Allah sudah ada sejak zaman azali (zaman sebelum terciptanya seluruh
makhluk) dan kelak Allah tetap ada saat kiamat (zaman musnahnya
seluruh makhluk), maka bisa kita pahami di zaman azali dan saat
kiamat, langit dan arsy tidak ada, dan Allah tetap ada, mustahil bagi
Allah mempunyai sifat butuh terhadap makhluk, seperti butuh
tempat yaitu ‘Arsy, kalau Allah butuh tempat, maka tdk bisa
disebut Tuhan, karena dg butuh akan tempat menunjukkan Dia
lemah, dan mustahil Tuhan bersifat lemah.
semoga kita semua selalu dalam aqidah yang benar dan lurus, tidak
sampai terpengaruh dg aqidah sesat mujassimah wahhaby yg
menganggap Allah bertempat di atas ‘Arsy atau bertempat di atas langit.
karena aqidah ini aqidah sesat, sangat mustahil langit dan Arsy yg
merupakan makhluk Allah yg kecil dan terbatas (bagi Allah) menjadi
tempat Dzat Yang Maha Besar, Yang Ke-besar-an-Nya tidak terbatas.

Imam Ahmad Bin Hanbal Adalah Imam Ahlus Sunnah Yang Disandarkan Kepadanya Penyelewengan!


*Imam Ahmad Bin Hanbal Adalah Imam Ahlus Sunnah Yang Disandarkan Kepadanya Penyelewengan!!*

Jika seseorang itu tidak mantap pegangan agamanya dan tidak menghalusi fitnah-fitnah golongan al-Musyabbihah terutamanya al-Wahhabiyah di akhir zaman sudah tentu akan terkeliru dengan kenyataan bathil yang disandarkan kepada al-imam Ahmad bin Hanbal secara dusta dan bohong. Antara perkara penting yang mesti kita tahu bahawa al-Imam Ahmad bin Hanbal adalah tokoh Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang agung, tidak menjisimkan Allah taala dengan makhlukNya, tidak beranggota badan, menyakini Allah taala maha suci daripada jisim, tempat, arah, gerak dan diam, dan sebagainya daripada sifat-sifat makhluk.

Hal tersebut jelas jika diamati betul-betul dalam perbahasan berikut :

1. As-Syaikh Ibnu Hajar Al Haytami dalam kitabnya Al-Fatawa Al Hadithiyyah, halaman 203-204 ketika ditanya tentang akidah Al-Imam Ahmad Bin Hanbal beliau menegaskan :

عَقِيْدَةُ إِمَامِ السُّـنَّةِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ –رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَاهُ وَجَعَلَ جِنَانَ الْمَعَارِفِ مُتَـقَلَّبَهُ وَمَأْوَاهُ وَأَفَاضَ عَلَيْنَا وَعَلَيْهِ مِنْ سَوَابِغِ امْتِـنَانِهِ وَبَوَّأَهُ الفِرْدَوْسَ الأَعْلَى مِنْ جِنَانِهِ- مُوَافِقَةٌ لِعَقِيْدَةِ أَهْلِ السُّـنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ مِنَ الْمُبَالَغَةِ التّآمَّةِ فِي تَنْـزِيْهِ اللهِ تَعَالَى عَمَّا يَقُوْلُ الظَّالِمُوْنَ وَالْجَاحِدُوْنَ عُلُوًّا كَبِيْرًا مِنَ الْجِهَةِ وَالْجِسْمِيَّةِ وَغَيْرِهِمَا مِنْ سَائِرِ سِمَاتِ النَّقْصِ بَلْ وَعَنْ كُلِّ وَصْفٍ لَيْسَ فِيْهِ كَمَالٌ مُطْلَقٌ، وَمَا اشْتَهَرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إِلَى هذَا الإِمَامِ الأَعْظَمِ الْمُجْتَهِدِ مِنْ أَنَّـهُ قَائِلٌ بِشَىْءٍ مِنَ الْجِهَةِ أَوْ نَحْوِهَا فَكَذِبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ فَلَعَنَ اللهُ مَنْ نَسَبَ ذلِكَ إِلَيْهِ أَوْ رَمَاهُ بِشَىْءٍ مِنْ هذِهِ الْمَثَالِب الَّتِيْ بَـرَّأَهُ اللهُ مِنْهَا، وَقَدْ بَيَّنَ الْحَافِظُ الْحُجَّةُ القُدْوَةُ الإِمَامُ أَبُوْ الفَرَجِ بْنُ الْجَوْزِيِّ مِنْ أَئِمَّةِ مَذْهَبِهِ الْمُبَرَّئِيْنَ مِنْ هذِهِ الوَصْمَةِ القَبِيْحَةِ الشَّنِيْعَةِ أَنَّ كُلَّ مَا نُسِبَ إِلَيْهِ مِنْ ذلِكَ كَذِبٌ عَلَيْهِ وَافْتِرَاءٌ وَبُهْتَانٌ وَإِنَّ نُصُوْصَهُ صَرِيْحَةٌ فِي بُطْلاَنِ ذلِكَ وَتَنْـزِيْهِ اللهِ تَعَالَى عَنْهُ، فَاعْلَمْ ذلِكَ فَإِنَّهُ مُهِمٌّ، وَإِيَّاكَ أَنْ تُصْغِيَ إِلَى مَا فِي كُتُبِ ابْنِ تَيْمِيَةَ وَتِلْمِيْذِهِ ابْنِ قَيِّمِ الْجَوْزِيَّـةِ وَغَيْرِهِمَا مِمَّنْ اتَّخَذَ إِلـهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيْهِ مِنْ بَعْدِ اللهِ، وَكَيْفَ تَجَاوَزَ هؤلاَءِ الْمُلْحِدُوْنَ الْحُدُوْدَ وَتَعَدَّوْا الرُّسُوْمَ وَخَرَقُوْا سِيَاجَ الشَّرِيْعَةِ وَالْحَقِيْقَةِ فَظَنُّوْا بِذلِكَ أَنَّهُمْ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَلَيْسُوْا كَذلِكَ بَلْ هُمْ عَلَى أَسْـوَأِ الضَّلاَلِ وَأَقْبَحِ الْخِصَالِ وَأَبْلَغِ الْمَقْتِ وَالْخُسْرَانِ وَأَنْهَى الكَذِبِ وَالبُهْتَانِ فَخَذَلَ اللهُ مُتَّبِعَهُمْ وَطَهَّرَ الأَرْضَ مِنْ أَمْثَالِهِمْ،

_“Akidah imam al-Sunnah Ahmad Ibn Hanbal radhiAllahu Anhu menjadikan syurga sebagai tempat kembalinya, -semoga Allah taala curahkan kepada kita dan kepada beliau nikmat-nikmatNya dan Allah menempatkannya di syurga al-firdaus yang tertinggi daripada syurga-syurgaNya- *adalah akidah yang bertepatan dengan akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, iaitu melakukan tanzih dengan sempurna; mensucikan Allah dari keyakinan yang disebut oleh orang-orang kafir lagi zalim dan orang-orang yang ingkar seperti arah, jisim dan sifat-sifat jisim dan lain-lain serta semua sifat kekurangan, bahkan menyucikanNya daripada segala sifat yang tidak memiliki kesempurnaan secara mutlak*._

_*Adapun apa yang tersebar dalam kalangan golongan jahil yang menyandarkan diri mereka kepada Imam Agung al-Mujtahid Ahmad Bin Hanbal (yang mengaku-ngaku mereka bermazhab Hanbali padahal mereka jauh daripada mengikut al-Imam Ahmad Bin Hanbal) bahawa Imam Ahmad menetapkan salah satu akidah batil tersebut seperti arah dan seumpamanya, maka itu adalah pendustaan, dan pembohongan terhadapnya*. Semoga Allah melaknat orang yang menyandarkan perkara tersebut kepada Ahmad atau menuduhnya dengan keyakinan-keyakinan bathil padahal Allah taala telah membersihkan diri Ahmad darinya. *Al-Hafiz al- Hujjah al-Qudwah al-Imam Abu al-Faraj ibnu al-Jawzi, salah seorang ulama mazhabnya yang bersih dari keyakinan keji tersebut, telah menjelaskan bahawa semua yang disandarkan kepada Ahmad bin Hanbal dengan keyakinan-keyakinan bathil tersebut adalah pendustaan dan  pembohongan terhadapnya semata-mata, serta perkataan-perkataan Ahmad sendiri sangat tegas menjelaskan kebatilan keyakinan-keyakinan keji tersebut disamping Ahmad Bin Hanbal sendiri mensucikan Allah dari disifatkan dengan perkara-perkara tersebut.*_

_Justeru ketahuilah perkara tersebut, sesungguhnya ia adalah sangat penting dan *awas jangan sampai anda mendengar dan percaya isi buku-buku Ibnu Taymiyyah, Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah dan lainnya yang telah bertuhankan kepada hawa nafsu, Allah taala sesatkan mereka walaupun mereka ada ilmu, Allah tutup pendengaran dan hatinya, dan Allah jadikan penghalang atau penutup pada matanya sehingga siapakah lagi yang boleh memberikan mereka petunjuk bimbingan setelah Allah menyesatkan mereka?!!* Sungguh betapa golongan mulhid tersebut melampaui batas, melangkaui garisan yang ditetapkan dan merobek-robek kesucian syariat dan hakikat. Mereka mengira diri mereka berada dalam petunjuk Allah, padahal mereka tidak seperti itu. Bahkan berada dalam kesesatan yang paling keji, keadaan paling buruk dan rugi, serta puncak pembohongan dan pendustaan. Semoga Allah tidak menolong pengikut mereka dan membersihkan bumi ini dari orang-orang seperti mereka.”_intaha

2. Abu Fadhl al-Tamimi (W 410 H), Ketua ulama mazhab Hanbali menukilkan daripada al-Imam Ahmad dalam kitabnya I^tiqad al-imam Ahmad bin Hanbal, halaman 41, Dar al-Bulunsiyyah, bahawa Ahmad bin Hanbal berkata:

ولا يجوز أن يقال استوى بمماسة ولا بملاقاة، تعالى الله عن ذلك علواً كبيرا، والله تعالى لا يلحقه تغير ولا تبدل ولا تلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش ، وكان ينكر- الإمام أحمد – على من يقول إن الله في كل مكان بذاته لأن الأمكنة كلها محدودة اهـ

_“ Tidak harus mengatakan istawa dengan makna saling bersentuhan dan saling bertemu antara dua perkara. Maha suci Allah daripada perkara tersebut dengan penyucian yang sungguh-sungguh. Allah taala tidak berlaku kepadanya perubahan dan pertukaran  sebelum diciptakan Arasy dan setelah diciptakan Arasy. Al-Imam Ahmad mengingkari kepada siapa yang mengatakan Allah berada di semua tempat dengan zatNya kerana tempat-tempat semuanya mahdud/ ada batasan had”_intaha

(lihat juga di dalam I^tiqad al-Imam al-Munabbal Abi Abdillah Ahmad Bin Hanbal, halaman 38-39 cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut-Lubnan).

3. Abu al-Fadhl al-Tamimi al-Hanbali yang merupakan ketua ulama mazhab Hanbali di Baghdad serta anaknya menukilkan daripada al-Imam Ahmad bahawa dia berkata di dalam kitab I^tiqad al-Imam Ahmad Bin Hanbal, halaman 47, Dar al-Bulunsiyyah:

أنكر أحمد (رضي الله عنه) على من يقول بالجسم وقال: إن الأسماء مأخوذة من الشريعة واللغة، وأهل اللغة وضعوا هذا ‏الاسم على ذي طولٍ وعرضٍ وسمكٍ وتركيبٍ وصورةٍ وتأليف والله تعالى خارج عن ذلك كله، فلم يجز أن يسمى جسمًا لخروجه عن معنى الجسمية، ولم يجئ في الشريعة ذلك فبطل.

_“Al-Imam Ahmad ibn Hanbal mengingkari sesiapa yang mengatakan Allah taala itu jisim dan beliau telah berkata: Sesungguhnya nama-nama itu diambil daripada syariat dan Bahasa Arab, dan ahli bahasa meletakkan makna jisim itu dengan maksud sesuatu yang mempunyai panjang, lebar, kedalaman, susunan, gambar dan rupa. Allah taala mustahil ke atasNya semua itu. Maka tidak harus menamakan jisim (pada hak Allah) kerana Allah tidak bersifat dengan ciri-ciri jisim, dan juga tidak datang perkara sedemikian dalam syari'at. Oleh itu, terbatallah ungkapan atau dakwaan tersebut."_

Perkara yang sama juga dinukilkan daripada al-Imam Ahmad bin Hanbal oleh al-Imam al-Baihaqi dalam kitab Manaqib Ahmad, halaman 42 dan sebagainya.

(boleh juga lihat ibarat yang hampir sama disebut di dalam I^tiqad al-Imam al-Munabbal Abi Abdillah Ahmad Bin Hanbal, halaman 45 cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut-Lubnan).

4. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata :

إن الله عز وجل واحدٌ لا من عدد، لا يجوز عليه التجزُّؤ ولا القسمة. وهو واحدٌ من كل وجه (أي لا شبيه له في أي وجه من الوجوه). وما سواه (أي ما سوى الله ) واحد من وجه دون وجه

_“Sesungguhnya Allah Azza Wajalla Esa bukan dari sudut bilangan. Tidak harus baginya belah-bahagi dan pembahagian dan Dia Esa pada setiap sudut ( tiada yang menyerupainya dalam apa jua sudut) dan selain Allah taala satu pada satu sudut bukan pada sudut yang lain”_intaha

(lihat I^tiqad al-Imam al-Munabbal Abi Abdillah Ahmad Bin Hanbal, halaman 14 cetakan Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut-Lubnan)

Az-Zahabi dalam kitabnya سير أعلام النبلاء, jilid 17 halaman 273 pernah memuji dan mengatakan tentang Abu al-Fadhl al-Tamimi al-Hanbali ini:

الامام الفقيه رئيس الحنابلة. اهـ

_“Beliau adalah imam yang faqih, ketua bagi ulama-ulama mazhab Hanbali”._

Al-Khatib al-Baghdadi menyebutkan tentangnya:

دفن الى جنب قبر الامام احمد بن حنبل رضي الله عنه. توفي رحمه الله سنة 410 للهجرة وكان صديقا للقاضي ابي بكر الباقلاني وموادا له، اي بينهما محبة شديدة، والباقلاني من كبار الاشاعرة الذين هم اعيان اهل السنة والجماعة.

_“Beliau dikebumikan di sebelah kubur al-Imam Ahmad bin Hanbal RadhiAllahu Anhu. Beliau wafat rahimahullah pada tahun 410 H. Beliau  adalah sahabat kepada Qadhi Abu Bakar al-Baqillani dan sangat dikasihi beliau iaitu keduanya saling mengasihi antara satu sama lain. Dan al-Baqillani antara pemuka-pemuka al-Asya^irah yang merupakan ulama terkenal Ahlus Sunnah Wal Jamaah”._

5. Al-Imam al-Hafiz al-Mufassir Abdurrahman ibn Ali al-Hanbali (w 597 H), yang lebih dikenali dengan sebutan al-Imam Ibn al-Jawzi antara ulama terkemuka dalam mazhab Hanbali dalam kitabnya  دفع شُبَه التّشبِيه halaman 56 menyebutkan pelepasan Ahlus Sunnah Wal Jamaah keseluruhannya berserta al-Imam Ahmad bin Hanbal secara khususnya daripada akidah golongan Mujassimah, katanya :

كانَ أحمدُ لا يقولُ بالجِهةِ للبارئ

*_“ Ahmad tidak pernah mengatakan adanya arah bagi Tuhan Pencipta alam”._*intaha

ibn al-Jawzi sendiri telah memberi penegasan dalam hal ini dalam Daf^u Syubah at-Tasybih, halaman 88 :

" الواجب علينا أن نعتقد أن ذات الله تعالى لا يحويه مكان ولا يوصف بالتغير والانتقال" اهـ.

_“Wajib ke atas kita meyakini bahawa zat Allah taala tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan perubahan atau berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain”_intaha

Dalam kitab Shayd al-Khathir, halaman 476, ibn al-Jawzi berkata :

فترى اقواما يسمعون أخبار الصفات فيحملونها على ما يقتضيه الحس، كقول قائلهم: ينزل بذاته إلى السماء وينتقل، وهذا فهم ردىء، لأن المنتقل يكون من مكان إلى مكان، ويوجب ذلك كون المكان أكبر منه، ويلزم منه الحركة، وكل ذلك محال على الحق عز وجل " اهـ

_“Engkau boleh melihat ada beberapa kelompok manusia ketika mereka mendengar teks-teks hadith berhubung sifat- sifat Allah, mereka menanggungnya mengikut makna hissi (mengikut apa yang boleh dicapai dengan pancaindera). Seperti kenyataan mereka bahawa Allah dengan  zat-Nya turun  ke  langit  dunia dan  berpindah  tempat.  Pemahaman seperti ini adalah sangat buruk. Kerana sesuatu yang dikatakan berpindah itu sudah tentu dari dari satu tempat (tempat asal) ke tempat yang lain (tempat baru yang merupakan destinasi yang dituju). Kemudian keyakinan seperti itu mewajibkan langit itu lebih besar daripada Allah taala sendiri, juga memestikan adanya sifat gerak bagi Allah. Padahal Allah taala maha suci dari semua perkara tersebut”_intaha

al-Hafizh Ibn al-Jawzi adalah salah seorang Imam terkemuka di kalangan mazhab Hanbali. Beliau termasuk salah seorang ulama yang telah berjasa besar dalam  membersihkan  mazhab  Hanbali  dari  kotoran-kotoran akidah  tasybih  yang  telah dimasukkan secara palsu oleh golongan Musyabbihah yang tidak bertanggungjawab. Tidak sedikit karya yang telah beliau tulis dengan tujuan untuk membersihkan mazhab Hanbali dari akidah tasybih. Salah satunya kitab beliau berjudul “Daf^u Syubah at-Tasybih Bi Akaff at- Tanzih”. Kitab ini mengandungi pelbagai bantahan terhadap kaum Musyabbihah Mujassimah; kaum yang mengaku-ngaku bermazhab Hanbali padahal al-Imam Ahmad ibn Hanbal sama sekali bebas dari segala apa yang mereka yakini. Dalam kitab ini al-Hafiz Ibn al-Jawzi menjelaskan kebenaran akidah Salaf dan akidah al-Imam Ahmad ibn Hanbal yang menegaskan bahawa Allah ada tanpa tempat, tanpa arah, suci dari segala bentuk dan ukuran, suci dari sifat duduk, berdiri, duduk bersemayam, dan berbagai-bagai lagi sifat-sifat jisim dan perkara baharu.

Bahkan beliau menyebutkan dalam kitab al-Baz al-Asyhab halaman 59 :

كل من هو في جهة يكون مقدرا محدودا وهو يتعالى عن ذلك، وإنما الجهات للجواهر والأجسام لأنها أجرام تحتاج إلى جهة، وإذا ثبت بطلان الجهة ثبت بطلان المكان" اهـ

_“Setiap  sesuatu  yang  memiliki  arah  sudah tentu memiliki  ukuran dan batasan had. Manakala Allah taala maha suci dari perkara tersebut. Arah-arah itu hanya berlaku bagi segala sesuatu yang memiliki bentuk (jauhar-jauhar dan jisim-jisim), kerana ia adalah jirim-jirim yang berhajat kepada arah. Apabila telah tetap kemustahilan adanya arah bagi Allah, bererti tetap pulalah kemustahilan adanya tempat bagi-Nya”_intaha

6. Al-Qadhi Badruddin bin Jamaah seorang ulama terkenal dalam kitabnya  إيضاحُ الدّليل في قَطْع حُجَج أهلِ التّعطيل , halaman 108 menyebutkan :

إنّ الإمام أحمدَ لا يقولُ بالجِهة للبَارئ.اهـ

*_“Sesungguhnya al-Imam Ahmad tidak berpendapat ada arah bagi Tuhan Pencipta sekalian alam”_*.intaha

7. As-Syaikh Ibn Hajar al-Haytami menyebut di dalam kitabnya al-Minhaaj al-Qawim ^Ala al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah, halaman 224 :

واعلَمْ أنّ القَرافيّ وغيرَه حكَوا عن الشّافعيّ ومالكٍ وأحمدَ وأبي حنيفةَ رضيَ الله عنهُم القولَ بكُفرِ القائلِينَ بالجِهة والتّجسِيم وهم حقِيقُونَ بذلك"اهـ

_“Ketahuilah bahawa al-Qarafi dan sebagainya menukilkan daripada as-Syafie, Malik, *Ahmad (bin Hanbal)*, dan Abu Hanifah RadhiAllahu Anhum pendapat berhubung kekufuran golongan yang mengatakan Allah taala ada bagiNya arah dan berjisim. Dan mereka itu benar sungguh dalam perkara tersebut”_ intaha.

8. Al-Muhaddith al-Kauthari ( W 1371H), wakil para masyaikh Islam di Darul Khilafah al-Uthmaniyyah dalam kitabnya “Maqalaat al-Kauthari”, halaman 321 menyebutkan :

إن القول بإثبات الجهة له تعالى كفر عند الأئمة الأربعة هداة الأمة كما نقل عنهم العراقي على ما في "شرح المشكاة" لعلي القاري " اهـ.

_“Sesungguhnya pendapat yang menetapkan arah bagi Allah taala adalah kekufuran di sisi imam-imam yang empat yang merupakan pembimbing Ummah (termasuk al-Imam Ahmad) sebagaimana dinukilkan oleh al-^Iraqi sebagaimana tercatat dalam Syarh al-Misykaat karangan Mulla ^Ali Qaari”._intaha

9. Ibarat masyhur yang diriwayatkan oleh Abu Fadhl al-Tamimi al-Hanbali daripada al-Imam Ahmad bin Hanbal bahawa beliau berkata:

مهما تصورت ببالك فالله بخلاف ذلك

“Walau apa jua yang kamu bayangkan maka Allah taala tidak seperti itu” ini adalah dalil menujukkan betapa bersihnya akidah beliau dan beliau berpegang dengan akidah al-Tanzih (menyucikan Allah daripada makhlukNya).” Perkataan ini sama dengan apa yang ditegaskan oleh Zun Nun Al-Mishri sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafiz Khatib al-Baghdadi.

10. Al-Muhaddith al-Faqih Badruddin al-Zarkasyi dalam kitabnya Tasynif al-Masami^, jilid 4 halaman 648 menyebutkan:

ونقل صاحب الخصال عن أحمد أنه قال : مَن قَالَ اللهُ جِسمٌ لا كالأجسَام كفَر

_“Pengarang kitab al-Khishol yang terdiri daripada kalangan ulama Hanbali menukilkan daripada Ahmad bin Hanbal bahawa dia berkata : “Sesiapa yang mengatakan Allah berjisim tetapi tidak sama-dengan jisim-jisim yang lain maka dia telah kufur”._intaha Kemudian katanya (al-Zarkasyi):

ونقَل عن الأشعرية أنه يفسقُ، وهذا النقل عن الأشعرِية ليسَ بصَحِيح.اهـ

_“Dan dinukilkan daripada al-Asy^ariyyah bahawa ia difasiqkan maka nukilan ini daripada al-Asy^ariyyah adalah tidaklah sahih”_. Intaha.

Antara ulama Hanabilah yang menyebut seakan sama dengan al-Imam Ahmad bin Hanbal ialah al-Imam Muhammad bin Badrudin bin Balbaan al-Dimasyqi al-Hanbali dalam kitabnya Mukhtasar al-Ifadaat, halaman 489 :

فمن اعتقد أو قال إن الله بذاته في كل مكان أو في مكان فكافر

_“Sesiapa yang meyakini atau berkata bahawa Allah taala dengan zatnya berada di semua tempat atau di suatu tempat maka dihukumkan kufur”._intaha.

Kemudian pada halaman 490, beliau menyebutkan :

ولا يشبه شيئًا ولا يشبهه شيء، فمن شبهه بشىء من خلقه فقد كفر كمن اعتقده جسمًا أو قال إنه جسم لا كالأجسام

_“Dia tidak sama dengan sesuatupun dan sesuatu tidak menyerupaiNya. Sesiapa yang menyerupakanNya dengan sesuatu daripada makhlukNya maka dia dihukum kufur seperti orang yang meyakini Dia (Allah) jisim atau dia berkata Dia (Allah) jisim tetapi tidak sama dengan jisim-jisim yang lain”._ intaha.

As-Syaikh Abu al-Wafa ^Ali ibn ^Aqil al-Baghdadi; salah seorang ulama terkemuka dalam mazhab Hanbali pada zamannya (W 513 H) berkata:

"تعالى الله أن يكون له صفة تشغل الأمكنة، هذا عين التجسيم، وليس الحق بذي أجزاء وأبعاض يعالج بها" اهـ.

 _“Maha suci  Allah  dari  memiliki sifat bertempat pada tempat- tempat (atau  di  suatu tempat), ini jelas merupakan keyakinan tajsim sebenar, sesungguhnya al-Haq (Allah) bukan sesuatu yang memiliki bahagian-bahagian atau potongan-potongan yang tersusun darinya”_intaha

11. Begitu juga al-Imam Ahmad telah thabit mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat berhubung sifat-sifat Allah taala. Al- Hafiz al-Baihaqi meriwayatkan daripada al-Hakim daripada Abi ^Amr bin as-Sammak daripada Hanbal bahawa Ahmad bin Hanbal telah mentakwilkan firman Allah taala   وَجَاءَ  رَبُّك bahawa ia bererti جاءَ ثوابُه (datang pahalanya). Kemudian al-Baihaqi berkata :

وهَذا إسنادٌ لا غُبارَ عَليه

_“Sanad periwayatan ini tiada ragu-ragu lagi padanya”_intaha. Ibn Kathir menukilkan perkara tersebut di dalam kitab tarikhnya; “al-Bidayah wan Nihayah”, jilid 10 halaman 327, Maktabah al-Ma^arif-Beirut.

12. Dalam riwayat lain al-Baihaqi menukilkan dalam kitab Manaqib Ahmad bahawa Ahmad berkata :

جاءَت قُدرَتُه

_“Telah datang kekuasanNya”._ (Datang kesan qudratNya iaitu datang perkara ajaib yang zahir pada hari tersebut yang merupakan ciptaan Allah taala).

Kemudian al-Baihaqi menyebutkan :

وفيه دليلٌ على أنّهُ كانَ لا يَعتقدُ في الـمجيء الذي ورَدَ بهِ الكتابُ والنّـزولِ الذي ورَدَت به السُّنةُ انتِقالا مِن مَكانٍ إلى مكانٍ كمجيء ذواتِ الأجسام ونزُولِـها وإنما هو عبارةٌ عن ظهُورِ ءاياتِ قُدرتِه"اهـ

_“Pada perkara ini ada dalil bahawa beliau (al-Imam Ahmad) tidak meyakini الـمجيء yang warid dalam al-Quran dan النّـزولِ yang warid di dalam Sunnah (hadith) sebagai berlaku perpindahan dari tempat ke tempat yang lain seperti datangnya zat-zat berjisim dan turunnya bahkan ia hanya ibarat mengenai kezahiran tanda-tanda kekuasanNya”._ Intaha

13. Syaikh Taqiyyuddin  al-Hishni dalam kitabnya “Daf^u Syubah Man Syabbaha wa Tamarrada”, halaman 62-63, cetakan darul Musthafa :

قال الإمام أحمد : معناه جاء أمر ربك. قال القاضي أبو يعلى : قال أحمد المراد به قدرته وأمره وقد بينه في قوله تعالى " أو يأتي أمر الله" يشير إلى حمل المطلق على المقيد وهو كثير في القرأن والسنة وفي كلام علماء الأمة لأنه لا يجوز عليه الانتقال سبحانه وتعالى. ومثله حديث النزول. وممن صرح بذلك الإمام الأوزاعي والإمام مالك لأن الانتقال والحركة من صفات الحدث والله عز وجل قد نزه نفسه عن ذلك.اھ

_”Al-Imam Ahmad berkata maknanya جاء أمر ربك (datang perintah Tuhannya) al-Qadhi Abu Yaala berkata : Ahmad bin Hanbal berkata yang dimaksudkan dengannya adalah kekuasaannya dan perintahnya. Sesungguhnya beliau telah menjelaskannya pada firman Allah taala " أو يأتي أمر الله" mafhumnya “atau datang perintah Allah” ia mengisyaratkan penanggungan makna ayat yang mutlak ke atas ayat yang muqayyad dan ia banyak terdapat dalam al-Quran dan as-Sunnah serta kalam ulama ummah kerana tidak harus ke atas Allah taala perpindahan tempat, maha suci Allah taala. Sama juga dengan hadith nuzul. Antara yang menyatakan dengan jelas perkara tersebut adalah al-Imam al-Auza^i dan al-Imam Malik kerana perpindahan dan pergerakan adalah antara sifat-sifat baharu padahal Allah azza Wajalla maha suci diriNya daripada perkara tersebut”_intaha

14. al-Hafiz al-Muhaddith al-Faqih as-Syaikh Abdullah al-Harari al-Habasyi dalam al-Maqalaat as-Sunniyyah, halaman 194 :

وهذا دليل على أن الإمام أحمد رضي الله عنه ما كان يحمل ءايات الصفات وأحاديث الصفات التي توهم أن الله متحيز في مكان أو أن له حركة وسكونا وانتقالا من علو إلى سفل على ظواهرها كما يحملها ابن تيمية وأتباعه فيثبتون اعتقادا التحيز لله في المكان والجسمية ويقولون لفظا ما يموهون به على الناس ليظن بهم أنهم منـزهون لله عن مشابهة المخلوق فتارة يقولون (( بلا كيف )) كما قالت الأئمة وتارة يقولون (( على ما يليق بالله )) ، نقول : لو كان الإمام أحمد يعتقد في الله الحركة والسكون والانتقال لترك الآية على ظاهرها وحملها على المجيء بمعنى التنقل من علو وسفل كمجيء الملائكة ، وما فاه بهذا التأويل. انتهى بحروفه .

_“Ini adalah dalil bahawa al-imam Ahmad RadhiAllahu Anhu tidak pernah menanggungkan ayat-ayat dan hadith-hadith berkaitan sifat-sifat Allah yang mewahamkan bahawa Allah berpihak pada tempat, bagiNya gerak dan diam, perpindahan daripada arah atas ke arah bawah berdasarkan makna zahirnya sebagaimana yang dibuat oleh ibn Taymiyyah dan pengikut-pengikutnya. Mereka menetapkan suatu keyakinan ada Allah berpihak pada tempat, bersifat dengan jisim dan mereka mengatakan suatu lafaz yang boleh mewahamkan manusia agar manusia menyangka-nyangka tentang mereka bahawa mereka itu mensucikan Allah taala dari penyerupaan makhluk. Sesekali mereka mengatakan “بلا كيف” (iaitu tanpa Allah disifatkan dengan sifat-sifat makhluk) dan pada kali yang lain pula mereka mengatakan “على ما يليق بالله” (mengikut apa yang layak bagi Allah). *Kita katakan : Jika al-Imam Ahmad meyakini tentang Allah taala ada pergerakan, diam, berpindah-randah sudah tentu dia telah meninggalkan ayat-ayat tersebut atas makna zahirnya dan menanggungkan ayat-ayat tersebut المجيء dengan makna berpindah-randah daripada arah atas ke arah bawah seperti datangnya malaikat. Namun beliau tidak menyatakan dengan pentakwilan ini._* Intaha

15. Dalam Al-Futuhaat al-Rabbaniyyah ^Ala al-Azkaar karangan al-^Alim al-Mufassir Muhammad ^Allan al-Shiddiqi as-Syafie al-Asya^ari al-Makki (W 1057 H) pada “Bab Menggalakkan Berdoa Dan Beristighfar Pada Nisf Thani (Separuh kedua Di Bulan Ramadhan) Pada Setiap Malam” jilid 2 halaman 196 menyebutkan  :

وأنّه تعالى مُنـزّه عن الجِهة والمكان والجِسم وسائر أوصافِ الحدوث، وهذا معتقَدُ أهلِ الحقّ ومنهُم الإمام أحمد وما نسَبَه إليهِ بعضُهم مِنَ القَولِ بالجهة أو نحوِها كذِبٌ صُرَاح عليه وعلى أصحابِه المتقَدِّمين كما أفادَه ابنُ الجَوزي مِن أكابِر الحنابلة .انتهى بحروفِه.

_“Sesunngguhnya Dia (Allah) taala maha suci daripada arah, tempat, jisim dan seluruh sifat-sifat baharu. Ini adalah keyakinan Ahlul Haq (Ahlus Sunnah Wal Jamaah), antara mereka adalah al-Imam Ahmad. *Apa yang disandarkan sebahagian orang kepada beliau bahawa beliau berpendapat bagi Allah taala itu ada arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan yang amat jelas terhapap beliau dan ke atas sahabat-sahabatnya yang terdahulu* sebagaimana disebut oleh ibn al-Jawzi yang merupakan antara ulama terkemuka Mazhab Hanbali”._Intaha

16. Al-Muhaddith as-Syaikh Muhammad ^Arabi al-Tabban al-Maliki al-Makki, ulama yang mengajar di Madrasah al-Falah dan di Masjid al-Makki (W1390 H) menyebutkan dalam kitabnya Baraah al-Asy^ariyyin Min ^Aqaid al-Mukhalifin, jilid 1 halaman 11 mengatakan bahawa :

أحمد بن حنبل نسب إليه بعض أصحابه وأتباعه أباطيل كالتجسيم وغيره وهو بريء منها وقد ثبث التأويل عن الامام أحمد وأتباعه الأقدمين. اهـ

*_“Imam Ahmad Bin Hanbal disandarkan kepadanya sebahagian pengikut-pengikutnya dengan kebatilan-kebatilan seperti perkataan Tajsim (menjisimkan Allah taala dengan makhlukNya) padahal beliau terlepas diri daripada dakwaan tersebut. Bahkan telah thabit pentakwilan terhadap (ayat-ayat mutasyabihat) yang dilakukan oleh imam Ahmad sendiri dan pengikutnya terdahulu”.*_intaha

Kemudian beliau menyebut dalam kitab yang sama, beliau mengatakan:

اتفق العقلاء من أهل السنة الشافعية والحنفية والمالكية وفضلاء الحنابلة وغيرهم على أن الله تبارك وتعالى منزه عن الجهة والجسمية والحد والمكان ومشابهة مخلوقاته " اهـ.

_ “Sepakat para cerdik pandai dalam kalangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah; as-Syafiyyah, al-Hanafiyyah, al-Malikiyyah, dan *Fudhalaa’ al-Hanabilah* serta selainnya bahawa Allah taala maha suci daripada arah, sifat-sifat jisim, batasan had, tempat, menyerupai makhlukNya”_intaha

17. Al-Hafiz Abu Hafsh Ibnu Syahin, salah seorang sahabat al-Hafiz al-Daraquthni, kedua-dua adalah tokoh ulama hadis terkemuka, mengatakan :

رَجُلاَنِ صَالِحَانِ بُلِيَا بِأَصْحَابِ سُوْءٍ، جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ

“Ada dua orang soleh yang diberi ujian oleh Allah dengan pengikut-pengikut yang menyimpang; Ja’far al-Shadiq  dan Ahmad Ibn Hanbal”. (Diriwayatkan dengan sanad-sanadnya yang thabit oleh al-Hafiz Abu Al-Qasim ibnu ‘Asakir dalam Tabyin Kadzib Al Muftari, halaman 164)

Al-Muhaddith as-Syaikh Muhammad ^Arabi al-Tabban dalam kitabnya Baraah al-Asy^ariyyin, jilid 1 halaman 11 menjelaskan makna kalam Al-Hafiz Abu Hafsh Ibnu Syahin  sebagaimana berikut :

يعني الامام جعفرا الصادق بن محمد الباقر نسب إليه الرافضة شيئا كثيرا من المسائل القبيحة وهو بريئ منها وأحمد بن حنبل نسب إليه بعض أصحابه وأتباعه أباطيل كالتجسيم وغيره وهو بريء منها. اهـ

“Maknanya golongan Rafidhah (atau syiah) menyandarkan kepada al-Imam Ja^far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir terlalu banyak permasalahan-permasalahan yang sangat keji padahal al-Imam Ja^far as-Shadiq sama sekali bersih dan bebas dari perkara keji tersebut. Demikian pula al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, sebahagian pengikutnya menyandarkan kepadanya keyakinan-keyakinan yang bathil seperti  tajsim, anggota dan selainnya, padahal beliau bersih dan bebas daripada akidah buruk tersebut”.

*Kesimpulan :*

Berdasarkan perbahasan tersebut cukup jelas kepada kita bahawa al-Imam Ahmad bin Hanbal  adalah imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang agung sebagaimana imam-imam yang lain, tidak menjisimkan Allah taala dengan makhlukNya, menyakini Allah taala maha suci daripada jisim, tempat, arah, gerak dan diam, dan sebagainya daripada sifat-sifat makhluk.

Justeru, hendaklah kita hati-hati dengan penyelewengan yang banyak dilakukan oleh golongan golongan al-Wahhabiyyah dalam kalangan al-Musyabbihah terhadap kitab-kitab ulama terutamanya mereka di zaman kini lebih suka berselindung atas nama mazhab Hanbali kemudian mendatangkan nas-nas ulama-ulama yang mengkhianati mazhab Hanbali seperti ibn Taymiyyah, ibn Qayyim al-Jawziyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab dan sebagainya.

Disediakan oleh :
🖋 Kajian Ilmiah Ahlis Sunnah (KIAS)

SIAPA AHLUL SUNNAH WAL JAMAAH?


SIAPA AHLUL SUNNAH WAL JAMAAH?

Imam al-Baghdadi Rahimahullah memperincikan LAPAN (8) golongan yang termasuk dalam Ahlusunnah wal Jamaah (lihat bukunya dari halaman 240-243):

• Golongan pertama, mereka yang menguasai ilmu khususnya dalam bab Tauhid (meng-esa-kan Allah) dan kenabian, hukum-hukum wa'ad (khabar gembira) dan wa'id (ancaman siksa), pahala dan balasan, syarat-syarat ijtihad, pemerintahan dan kepimpinan. Mereka yang melalui jalan ini ialah ulama Kalam (Tauhid) yang bebas dari fahaman tasybih (menyerupakan sifat Allah dengan makhluk) dan bebas dari fahaman ta'til (yang menafikan sifat-sifat yang Azali bagi Allah SWT)), dan bebas dari bidaah al-Rafidhah, Khawarij, Jahmiah, Najariah dan seluruh pengikut bidaah dan hawa nafsu.

• Golongan kedua ialah imam-imam fiqh samada kumpulan yang cenderung pada rakyun (dalil aqal) atau hadith. Iaitu mereka yang beriktikad (berkeyakinan) pada perkara usuluddin dengan mazhab-mazhab sifat pada Allah dan pada sifat-sifatnya yang azali (membicarakan sifat-sifat Allah SWT sebagaimana sifat 20), dan mereka bebas dari fahaman Qadariah dan Muktazilah; mereka menetapkan melihat Allah Taala dengan mata (di akhirat kelak) dengan mata tanpa tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), tanpa ta'til' (menafikan sifat-sifat Allah).

Termasuk dalam golongan ini ialah murid-murid kepada Malik, al-Shafie, al-Auza'i, al-Thauri, Abu hanifah, Ibn Abu Laila (wafat148H), sahabat-sahabat Abu Thaur (wafat240H), sahabat-sahabat Ahmad bin Hanbal (wafat241H), ahli al-Zahir, keseluruhan ulama fiqh yang beriktikad dalam bab-bab akal ini dengan prinsip-prinsip Sifat (tauhid yang membahaskan Sifat-sifat Allah). Dan mereka tidak mencampurkannya dengan apa-apa dari ahli bidaah dan hawa nafsu.

• Golongan ketiga ialah mereka yang menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan periwayatan hadith dan sunnnah yang disampaikan oleh Nabi SAW, mereka berupaya membezakan antara sahih dan cacat antaranya, mengetahui sebab-sebab 'al-jarh wa al-ta'dil' (kredibiliti seorang rawi), dan mereka tidak memasukkan ilmu mereka dengan apa-apa dari ahli bidaah dan nafsu yang menyesatkan.

• Golongan ke empat ialah kaum yang menguasai kebanyakan topik-topik sastera Arab, nahu dan saraf. Mereka berada atas jalan pakar bahasa seperti al-Khalil (wafat175H), Abu 'Amr bin al-'Ala` (wafat 145), Sibawaih (wafat 180H), al-Farra' (wafat 207H), al-Akhfash (wafat 215H), al-Asma'i, al-Mazini (wafat 236H), Abu Ubaid (wafat 224H) dan seluruh imam-imam Nahu samada ulama-ulama Kufah atau Basrah, yang mana mereka tidak mencampurkan ilmu mereka dengan sesuatu dari bidaah al-Qadariah, atau Rafidhah atau Khawarij. Maka sekiranya seseorang itu cenderung ke arah nafsu yang menyesatkan, maka bukanlah ia dari golongan Ahlussunnah walaupun kata-katanya adalah 'hujah' dalam ilmu bahasa dan Nahu.

• Golongan ke lima, antaranya ialah mereka yang menguasai ilmu yang berkaitan dengan jenis-jenis qiraat untuk al-Quran, dan jenis-jenis tafsiran al-Quran, penakwilannya berdasarkan mazhab-mazhab Ahlussunnah, tanpa berpegang dengan takwilan ahli nafsu yang sesat.

• Golongan ke enam ialah, antaranya ialah para ahli zuhud sufi yang mempunyai ilmu maka jauh pandangan, yang telah dinilai maka ia diiktibarkan, mereka redha dengan hidup yang ringkas, mereka mengatahui bahawa penglihatan, pendengaran dan hati dipertanggungjawabkan terhadap kebaikan dan kejahatan; menghisab dengan neraca zarah-zarah, justeru menyediakan diri mereka dengan sebaik-baik perisapan untuk hari Kiamat. Perkataan mereka berjalan di atas dua jalan iaitu secara jelas dan isyarat di atas jalan ahli hadis, tanpa mereka 'membeli' pandangan yang mempermainkan hadis. Mereka tidak melakukan kebaikan kerana riak, tidak pula meninggalkan kebaikan kerana malu kepada orang lain. Agama mereka hanya satu dan menafikan 'pentasybihan' (menyerupakan Allah dengan makhluk), mazhab mereka ialah tafwidh (menyerahkannya) kepada Allah SWT, bertawakkal kepadanya, penyerahan kepada-Nya, tenang dengan apa yang direzekikan-Nya.

• Golongan ke tujuh ialah, antaranya kaum yang terikat dengan barisan hadapan peperangan dengan orang-orang kafir, berjihad melawan musuh-musuh Islam, mereka menjadi benteng melindungi umat Islam, meninggalkan isteri-isteri mereka dan negara mereka, dan menzahirkan pada barisan hadapan mereka Mazhab ASWJ.

• Golongan ke lapan ialah, antaranya kebanyakan negara-negara yang secara kebiasaannya terdapat syiar ASWJ, bukannya negara yang menzahirkan syiar ahli hawa-nafsu yang sesat.

Itulah huraian sebenar al-Imam Abdul Qahir bin Tohir bin Muhammad al-Baghdadi (wafat429H). Rupanya ramai sebenarnya yang diiktiraf sebagai Ahlussunnah. Ia berbeza dengan pandangan yang meminoritikan dan mengekslusifkan ASWJ hanya untuk golongannya sahaja dengan tuduhan sesat dan bidaah pada perkara remeh-temeh seperti qunut, talqin, zikir selepas solat, berdoa beramai-ramai dan sebagainya. Lihat kata Imam al-Baghdadi tentang perkara-perkara cabang (hal. 19):

"Mereka (ASWJ) hanya khilaf mengenai halal dan haram pada cabang hukum, bukanlah khilaf tersebut mengundang kepada sesat dan fasik; mereka adalah puak yang terselamat, kerana mereka bersatu pada keesaan pencipta dan qidamNya, qidam segala sifatnya sejak azali, dan harus melihatNya tanpa sebarang perumpamaan dan gangguan, serta yakin terhadap isi kandungan kitabNya dan rasulNya, dan mengikut segala syariat islam, dan menghalalkan segala yang dihalalkan oleh Al-Quran, dan mengharamkan segala yang diharam oleh Al-Quran, serta menerima apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan beriman pada hari kebangkitan dan perhitungan, dan soal dua Malaikat dalam kubur, beriman dengan telaga Kauthar dan Timbangan".

TALAQQI: KAEDAH SEBENAR DALAM MENUNTUT ILMU AGAMA


TALAQQI: KAEDAH SEBENAR DALAM MENUNTUT ILMU AGAMA

✨Sesungguhnya sebaik-baik perkara yang masa dihabiskan untuknya ialah mempelajari ilmu yang bermanfaat dan gigih menyebarkan ilmu di kalangan golongan dewasa dan kanak-kanak.

✨Telahpun diketahui jalan ilmu yang para ulama besar kita dan para ulama ikutan dalam Islam telah tempuhi ketika proses pengajaran dan pembelajaran ilmu adalah dengan cara talaqqi iaitu seorang penuntut  akan mengambil ilmu yang berupa riwayat, huraian dan pemahaman secara mendengar daripada mulut orang alim yang juga telah mendengar daripada orang alim yang sebelumnya dengan sanad yang bersambung kepada Rasulullah sollallahu ^alaihi wa sallam.

🔹Inilah cara yang telah pun ditempuhi oleh para ulama salaf dan khalaf ketika talaqqi ilmu seperti imam kita al-Syafi^I radiyallahu ^anhu telah talaqqi ilmu daripada Muslim ibn Khalid, Malik ibn Anas, murid-murid Abu Hanifah dan selain mereka.

✨Sesungguhnya cara ini mempunyai dalil daripada al-Quran dan sunnah Nabi sollallahu ^alaihi wa sallam. Allah ta^ala telah berfirman:
عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى
Mafhumnya: “Dia (Muhammad) telah diajar oleh Jibril” [Surah al-Najm, ayat 5]

✨Nabi Muhammad makhluk Allah yang paling utama ini telah pun talaqqi al-Quran daripada Jibril ^alaihis-salam, seterusnya para sahabat baginda talaqqi al-Quran daripada baginda dan selanjutnya orang yang selepas sahabat pula talaqqi al-Quran daripada para sahabat sehingga bersambungan kepada kita.

✨Sesungguhnya Rasulullah sollallahu ^alaihi wa sallam  telah bersabda:
إنما العلم بالتعلم والفقه بالتفقه
Mafhumnya: “Hanyasanya ilmu dengan talaqqi dan kefahaman itu dengan mendalami ilmu” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari].

✨Oleh itu, ilmu tidak ada tanpa belajar daripada seorang guru, bahkan semestinya seseorang yang menuntut ilmu itu mempelajari dengan mengambilnya daripada ahli ilmu dan tidak memadai dengan membaca buku-buku.

✨Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab al-Adabul-Mufrad tentang kisah perjalanan Jabir ibn Abdillah al-Ansori radiyallahu ^anhu selepas kewafatan Rasulullah sollallahu ^alaihi wa sallam dari al-Madinah al-Munawwarah ke Mesir selama sebulan untuk mendatang satu hadis daripada Abdullah ibn Unais yang telah mendengar hadis itu daripada Rasulullah dan Jabir belum pernah mendengarnya. Ini adalah hanya kerana sifat haloba beliau untuk talaqqi ilmu daripada mulut-mulut para ulama.

✨Sesungguhnya al-Imam al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan sebilangan pendapat daripada para ulama yang terbilang menunjukkan manhaj keilmuan yang mereka ikut dalam talaqqi ilmu dan beliau merangkan bahawa barangsiapa yang mengambil al-Quran daripada mushaf tanpa talaqqi maka dia digelar mushafi dan tidak digelar sebagai seorang qari, dan barangsiapa mengambil ilmu daripada kitab-kitab maka dia digelar sohafi dan tidak digelar sebagai seorang alim. Al-Khatib al-Baghdadi telah meriwayatkan daripada al-Imam al-Tabi^I al-Jalil Muhamad ibn Sirin radiyallahu ^anhu bahawa dia berkata:
لا يؤخذ العلم إلا من أفواه العلماء
Maksudnya: “Ilmu tidak diambil melainkan daripada mulut-mulut para ulama”.

✨Muslim meriwayatkan dalam muqaddimah kitab Sohih Muslim daripada Muhammad ibn Sirin bahawa dia berkata:
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
Maksudnya: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka kamu lihatlah daripada siapakah kamu mengambil agama kamu”.

✨Sesungguhnya para ulama sangat haloba untuk mendengar ilmu sehingga sebahagian mereka mempunyai seratus guru dan sebahagian mereka mempunyai lebih ramai lagi guru. Al-Hafiz Abu Sa^id al-^Ala’i Khalil ibn Kaikaladi – beliau adalah guru kepada al-hafiz Zainud-Din al-^Iraqi – talaqqi hadis daripada tujuh ratus ulama secara mendengar lansung daripada mereka.

🔹Antara faedah besar talaqqi ilmu daripada mulut para ulama ialah:
1⃣ Dapat menjauh dari terjebak dalam kefahaman yang salah natijah daripada berpada dengan semata-mata mentelaah tanpa talaqqi.
2⃣ Dapat mengambil ilmu secara isnad ilmu yang dipercayai yang menjaga penuntut ilmu dari berpegang dengan riwayat-riwayat yang batil, mauduk dan pemikiran-pemikiran yang menyalahi manhaj Ahlis-Sunnah wal-Jama^ah.
3⃣ Selamat dari pemalsuan dan penyelewengan yang banyak berlaku dalam kitab-kitab khususnya cetakan-cetakan yang berasaskan perniagaan yang tidak menitikberatkan ketetapan ilmiah.
4⃣ Memperoleh keberkatan dengan sebab hadir dalam majlis ilmu para ulama dan fuqaha’ dan dengan sebab hubungan rapat dengan mereka.

🌸Penyair ada berkata:
من يأخذ العلم عن شيخ مشافهةً *** يكن من الزيف والتصحيف في حرمِ
ومن يكن آخذاً للعلم من صحف *** فعلمه عند أهل العلم كالعدم

Maksudnya: “Barangsiapa mengambil ilmu daripada seseorang guru secara musyafahah, maka dia terpelihara dari penyelewengan dan pemalsuan. Dan barangsiapa selalu mengambil ilmu dari helaian kertas, maka ilmunya di sisi ahli ilmu adalah seperti tiada”.
         (16/14)

Menjawab Tuduhan Penganut Ajaran Nenek Moyang


Menjawab Tuduhan Penganut Ajaran Nenek Moyang

Sebuah pesan dari dai Salafi ditulis: “Sekira para kiai Aswaja NU mau menanggalkan hawa nafsu dan sikap fanatisme yang membabi buta terhadap tradisi leluhur mereka, niscaya mereka bakal mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para dai dari Salafi yang telah meluruskan makna Ahlu Sunnah wal Jamaah yang selama ini mereka pahami secara keliru”

Jawaban:

Justru Dai dari Salafi yang baru mengetahui ijtihad Islam dan belum mengerti seluk-beluk metode ijtihad para ulama sejak dahulu. Apa yang telah kami amalkan memiliki landasan ijtihad sebagai berikut:

1. Qiyas Dalam Ibadah

- Sumber Hukum Qiyas
Ulama ahli Tafsir, Syaikh Fakhruddin ar-Razi, menjelaskan firman Allah dalam QS an-Nisa’: 59, sebagai 4 sumber hukum dalam Islam:

قَوْلُهُ : { أَطِيْعُواْ اللهَ وَأَطِيْعُواْ الرَّسُوْلَ } يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبِ مُتَابَعَةِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ . قَوْلُهُ : { وَأُوْلِى الْأمْرِ مِنْكُمْ } يَدُلُّ عِنْدَنَا عَلَى أَنَّ إِجْمَاعَ الْأُمَّةِ حُجَّةٌ ... قَوْلُهُ : { فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ } يَدُلُّ عِنْدَنَا عَلَى أَنَّ الْقِيَاسَ حُجَّةٌ

“Firman Allah (ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul) menunjukkan kewajiban mengikuti al-Quran dan Hadis. Firman Allah (dan ulil amri) menunjukkan bagi kita bahwa Ijma’ umat Islam adalah sebuah hujjah. Dan firman Allah (jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu...) menunjuk-kan bagi kita bahwa Qiyas adalah sebuah hujjah” (Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib, 5/248-251)

- Khilafiyah Qiyas Dalam Ibadah
Metode Qiyas semacam ini memang menjadi khilafiyah diantara lintas ulama Madzhab, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ali bin Muhammad al-Ba’li:

مَسْأَلَةٌ يَجْرِى الْقِيَاسُ فِى الْعِبَادَاتِ وَالْأَسْبَابِ وَالْكَفَّارَاتِ وَالْحُدُوْدِ وَالْمُقَدَّرَاتِ عِنْدَ أَصْحَابِنَا وَالشَّافِعِيَّةِ خِلَافًا لِلْحَنَفِيَّةِ

“Qiyas berlaku dalam masalah ibadah, sebab-sebab syariat, kaffarat (denda/sanksi), hukum pidana dan ukuran, menurut ulama kami (madzhab Hanbali) dan madzhab Syafiiyah, berbeda dengan madzhab Hanafiyah” (Mukhtashar Ushul al-Fiqh ala Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, 1/151)

Contoh dari hasil ijtihad ini adalah membaca niat dalam salat, salaman setelah salat, adzan di kubur

2. Mengamalkan Hadis Dlaif

Ulama Salafi menvonis mengamalkan hadis dlaif adalah bidah, padahal tidak demikian. Sudah sejak masa ulama Salaf hadis dlaif diamalkan, bahkan hal ini diakui oleh Ibnu Taimiyah yang diberi gelar Syaikhul Islam oleh Salafi:

فَصْلٌ قَوْلُ أَحْمَد بْنِ حَنْبَلٍ : إذَا جَاءَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ شَدَّدْنَا فِي الْأَسَانِيدِ ؛ وَإِذَا جَاءَ التَّرْغِيبُ وَالتَّرْهِيبُ تَسَاهَلْنَا فِي الْأَسَانِيدِ ؛ وَكَذَلِكَ مَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءُ مِنْ الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ : لَيْسَ مَعْنَاهُ إثْبَاتُ الِاسْتِحْبَابِ بِالْحَدِيثِ الَّذِي لَا يُحْتَجُّ بِهِ ؛ فَإِنَّ الِاسْتِحْبَابَ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ فَلَا يَثْبُتُ إلَّا بِدَلِيلِ شَرْعِيٍّ

(Fasal) Perkataan Ahmad bin Hanbal: “Jika ada hadis yang menjelaskan halal dan haram, maka kami sangat ketat dalam menilai sanadnya. Jika ada hadis dalam masalah dorongan beribadah atau motifasi meninggalkan larangan, maka kami memberi kelonggaran dalam sanadnya”, demikian halnya para ulama yang mengamalkan hadis dlaif dalam hal keutamaan beramal; maksudnya adalah bukan unyuk menetapkan hukum sunah dengan hadis yang tidak dapat dijadikan hujjah. Sebab, sunah adalah hukum syar’i maka tidak dapat dijadikan ketetapan hukum kecuali dengan dalil Syar’i.

وَإِنَّمَا مُرَادُهُمْ بِذَلِكَ : أَنْ يَكُونَ الْعَمَلُ مِمَّا قَدْ ثَبَتَ أَنَّهُ مِمَّا يُحِبُّهُ اللَّهُ أَوْ مِمَّا يَكْرَهُهُ اللَّهُ بِنَصِّ أَوْ إجْمَاعٍ كَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ ؛ وَالتَّسْبِيحِ وَالدُّعَاءِ ؛ وَالصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ ؛ وَالْإِحْسَانِ إلَى النَّاسِ ؛ وَكَرَاهَةِ الْكَذِبِ وَالْخِيَانَةِ ؛ وَنَحْوِ ذَلِكَ ... وَمِثَالُ ذَلِكَ التَّرْغِيبُ وَالتَّرْهِيبُ بِالْإِسْرَائِيْلِيَّاتِ وَالْمَنَامَاتِ وَكَلِمَاتِ السَّلَفِ وَالْعُلَمَاءِ وَوَقَائِعِ الْعُلَمَاءِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا لَا يَجُوزُ بِمُجَرَّدِهِ إثْبَاتُ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ ؛ لَا اسْتِحْبَابٍ وَلَا غَيْرِهِ وَلَكِنْ يَجُوزُ أَنْ يُذْكَرَ فِي التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ ؛ وَالتَّرْجِيَةِ وَالتَّخْوِيفِ . فَمَا عُلِمَ حُسْنُهُ أَوْ قُبْحُهُ بِأَدِلَّةِ الشَّرْعِ فَإِنَّ ذَلِكَ يَنْفَعُ وَلَا يَضُرُّ

Maksud mereka (Imam Ahmad dan lainnya) adalah melaksanakan hal-hal yang disenagi oleh Allah atau yang tidak disenangi berdasarkan dalil nash atau ijma’ ulama, seperti membaca al-Quran, tasbih, doa, sedekah, memerdekakan budak, berbuat baik kepada manusia, menjauhi dusta, khianat dan sebagainya.... Demikian halnya dorongan ibadah dan menjauhi larangan dengan dasar kisah-kisah Israiliyat, mimpi-mimpi, perkataan ulama Salaf, kejadian yang dialami para ulama dan hal yang tidak boleh dijadikan hukum Syar’i hanya karena hal diatas. Bukan menjadi hukum sunah atau lainnya. Namun boleh disebutkan dalam hal mendorong ibadah, menjauhi dosa, memberi harapan atau menakut-nakuti. Maka, sesuatu yang diketahui bagusnya atau buruknya berdasarkan dalil Syar’i maka hal itu boleh dan tidak berbahaya (Syaikh Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa 4/50)

Contoh amaliah yang merujuk kepada hadis dlaif adalah Talqin di makam. Sedangkan contoh mengamalkan dari para ulama adalah melepas tali pocong dari sebagian Tabiin. Contoh mengamalkan mimpi adalah doa fida’ baik tahlil 70.000 kali maupun al-Ikhlas 100.000 kali. Jika Ibnu Taimiyah boleh mengamalkan, mengapa pengikutnya menolak?

3. Mengamalkan Tradisi

Masalah inilah yang paling banyak dituduh sebagai mengamalkan ajaran nenek moyang, yaitu tradisi. Padahal tidak semua tradisi harus dijauhi, bahkan tradisi yang dinilai baik oleh umat Islam boleh diamalkan, sebagaimana riwayat berikut:

عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ : مَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّىءٌ وَقَدْ رَأَى الصَّحَابَةُ جَمِيْعًا أَنْ يَسْتَخْلِفُوْا أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ (رواه احمد والحاكم والطبراني والبزار . قال الذهبي قي التلخيص : صحيح وقال الهيثمي رجاله ثقات)

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: “Apa yang dilihat baik oleh umat Islam, maka baik pula bagi Allah. Dan apa yang dilihat buruk oleh umat Islam, maka buruk pula bagi Allah. Para sahabat kesemuanya telah berpandangan untuk mengangkat khalifah Abu Bakar” (Riwayat Ahmad, al-Hakim, al-Thabrani dan al-Bazzar. Al-Dzahabi berkata: Sahih. Al-Haitsami berkata: Para perawinya terpercata)

Mufti al-Azhar, Syaikh Athiyah Shaqr, berfatwa:

وَهَذَا الْأَثَرُ اسْتَدَلَّ بِهِ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ الْعُرْفَ حُجَّةٌ فىِ التَّشْرِيْعِ وَلَكِنْ بِشَرْطِ عَدَمِ تَعَارُضِهِ مَعَ النُّصُوْصِ الصَّرِيْحَةِ وَالْأُصُوْلِ الْمُقَرَّرَةِ .... قَالَ الْعُلَمَاءُ : إِنَّ الْعُرْفَ لَا يُؤْخَذُ بِهِ إِلَّا بِشُرُوْطٍ مِنْهَا أَنْ يَكُوْنَ مُطَّرِدًا أَوْ غَالِبًا أَىْ شَائِعًا بَيْنَ الْكَثِيْرِيْنَ مَعَ مُرَاعَاةِ أَنَّ لِكُلِّ جَمَاعَةٍ عُرْفَهَا وَمِنْهَا أَلَّا يَكُوْنَ مُخَالِفًا لِنَصٍّ شَرْعِىٍّ كَشُرْبِ الْخَمْرِ وَلَعْبِ الْمَيْسِرِ وَالتَّعَامُلِ بِالرِّبَا ... (فتاوى الأزهر - ج 10 / ص 336)

Atsar (Ibnu Mas’ud) ini dijadikan dalil oleh mayoritas ulama bahwa ‘urf atau kebiasaan adalah sebuah dalil dalam agaman, namun dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran agama dan kaidah ushul yang telah ditetapkan... ulama berkata: Urf atau kebiasaan tidak digunakan kecuali dengan beberapa syarat, diantaranya harus berlaku secara umum oleh kebanyakan orang, serta melestarikan kebiasaan masing-masing. Diantaranya juga tidak bertentangan dengan dalil agama, seperti minum khamr, permainan judi dan transaksi riba...” (Fatawa al-Azhar 10/336)

Kriteria tradisi dengan syarat diatas juga dibenarkan dalam pandangan ulama 4 madzhab, seperti oleh Syaikh Zadah al-Hanafi dalam Majma’ al-Anhar 5/361, Syaikh ad-Dasuqi al-Maliki dalam Hasyiah ‘ala asy-Syarh al-Kabir 15/372, al-Hafidz as-Suyuthi asy-Syafi’i, Asybah wa an-Nadzair, 1/164, dan Syaikh asy-Syinqithi dalam Syarah Zad al-Mustaqni’ 6/166.

Ma’ruf Khozin, Anggota di Aswaja NU Center Jatim dan LBM PWNU Jatim