Ahad, 28 Mei 2017

DEBAT SYEIKH WALID ANAK MURID SYEIKH ALMUHADDITH ABDULLAH ALHARARI BERSAMA SYAIKH SYU'AIB AL-ARNAUTH DALAM MASALAH TAWASSUL


DEBAT SYEIKH WALID ANAK MURID SYEIKH ALMUHADDITH ABDULLAH ALHARARI BERSAMA SYAIKH SYU'AIB AL-ARNAUTH DALAM MASALAH TAWASSUL

Dialog ini adalah pengalaman peribadi Syaikh Walid al-Sa'id, seorang ulama Ahlu Sunnah Wal Jama'ah di Timur Tengah, dengan Syaikh Syu'aib al-Arnauth , seorang ulama Dasmascus, yang TERPENGARUH AJARAN WAHABI.
.
Syaikh Walid al-Sa'id bercerita." Suatu hari saya mendatangi Syaikh Syu'aib al-Arnauth di pejabatnya untuk berdiskusi tentang masalah TAWASSUL dan ISTIGHATSAH. Setelah saya bertemu dengannya, saya berbicara kepadanya tentang masalah TAWASSUL dan saya ajukan hadis al-Thabarani.

Syaikh Syu'aib al-Arnauth berkata, "Hadis ini membolehkan bertawassul dengan Nabi s.a.w. ketika masih hidupnya".

Saya berkata: "Hadis al-Thabarani membolehkan bertawassul dengan Nabi s.a.w. ketika masa hidupnya dan sesudah meninggalnya. Demikian pula hadis Bilal bin al-Harits al-Muzani yang mendatangi makam Nabi s.a.w. dan bertawassul dengannya sesudah wafatnya Nabi s.a.w."
.
IA BERKATA : "HADIS INI DHA'IF."
.
Aku berkata : " Hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan SANAD yang SHAHIH sebagaimana di katakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam "Fathul Bari". Demikian pula Ibnu Katsir menilainya SHAHIH.
.
Ia berkata: " Ibnu Hajar berkata, hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan SANAD yang SHAHIH kepada Malik ad-Dar. Sedangkan Malik ad-Dar ini seorang perawi MAJHUL ( tidak diketahui kualitinya). Jadi Malik ad-Dar ini tidak dapat dijadikan hujjah dalam periwayatan hadis."
.
Aku berkata : " Malik ad-Dar ini diangkat oleh Khalifah Umar bin al-Khathab r.a. sebagai Bendahari Baitu Mal kaum Muslimin. Berarti menurut Anda, Khalifah Umar r.a. mengangkat seorang laki-laki yang TIDAK JELAS kualitinya, apakah dia percaya atau tidak, sebagai Bendahari negara?"
.
Mendengar sanggahan saya ini, ia TERDIAM dan TIDAK MENJAWAB. Akhirnya dia berbicara lagi kepada saya, " Secara peribadi saya berpendapat, dalam masalah TAWASSUL ada perbezaan pendapat di kalangan ulama. Jadi saya tidak menentang terhadap orang yang melakukannya. Adapun BER-ISTIGHATSAH dengan selain Allah, hukumnya jelas haram. Seorang makhluk TIDAK BOLEH beristighatsah dengan sesama makhluk.
.
Aku berkata, " Kalau Anda berpendapat bahwa istighatsah terhadap sesama makhluk dilarang, lalu bagaimana pendapat Anda tentang hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya dari jalur Ibnu Umar r.a. bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda :
.
"Sesungguhnya Matahari akan mendekat pada hari kiamat, sehingga keringat akan sampai pada separuh telinga. Maka ketika manusia dalam kondisi demikian, mereka beristighatsah (meminta pertolongan) dengan Nabi Adam."( HR.al-Bukhari [1475 ] ).
.
Syaikh Syu'aib al-Arnauth berkata : "Hadis ini berkaitan dengan istighatsah ketika para nabi itu masih hidup, dan memang dibolehkan ber-istighatsah dengan mereka. Adapun sesudah mereka meninggal, maka tidak boleh ber-istighatsah dengan mereka."
.
Aku berkata : " Kalau begitu, Anda berpendapat boleh ber-istighatsah dengan para nabi ketika masih hidup? Ia menjawab: " Ya."
.
Aku berkata : " Tolong jelaskan dalil 'aqli atau dalil syar'i yang melarang ber-istighatsah dengan para nabi sesudah mereka mereka meninggal dunia! "
.
Ia berkata : " Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya yang sedang aku tahqiq dan belum terbitkan. Hadis tersebut adalah begini, bahawa Rasulullah s.a.w. bersabda :
.
" Sesungguhnya tidak boleh beristighatsah denganku. Beristighatsah hanya kepada Allah."
.
Aku berkata : " Kalau begitu pernyataan Anda paradoks. Anda tadi berkata ketika saya sampaikan hadis Ibnu Umar (riwayat Bukhari), bahwa beristighatsah dengan para nabi ketika mereka masih hidup, itu boleh. Sekarang Anda menyampaikan hadis kepada saya, bahawa Nabi s.a.w. ketika masa hidupnya bersabda, bahawasanya tidak boleh ber-istighatsah denganku."
.
Ia berkata, " Maaf, hadis ini dha'if. Jadi tidak dapat dijadikan hujjah." Ternyata hadis yang disampaikannya, ia ralat sendiri dan ia akui sebagai hadis dha'if.
.
Kemudian ia berkata kepadaku: "Coba aku berikan contoh seorang imam di antara imam mazhab yang empat yang mendatangi suatu MAKAM atau seorang wali untuk BER-TABARRUK atau BER-ISTIGHATSAH dengannya."
.
Saya berkata: " Al-Khatib al-Baghdad telah meriwayatkan dalam TARIKH BAGHDAD dengan sanad yang shahih, bahwa Imam Syafi'i berkata: "Saya senantiasa bertabarruk dengan Abu Hanifah. Saya selalu mendatangi makamnya setiap hari dengan berziarah. Apabila saya memiliki hajat, saya solat 2 raka'at, lalu saya datangi makamnya, saya berdoa' kepada Allah tentang hajatku disisi makam itu, sehingga tidak lama kemudian hajat ku terkabul."
.
Ia berkata dengan berteriak, " Riwayat ini tidak shahih . Dari mana Anda dapat riwayat ini?"
.
Kebetulan kitab Tarikh Baghdad ada di belakang punggungnya. Saya berkata kepadanya, " Tolong ambil kitab itu." Setelah kitab tersebut diserahkan kepada saya, saya bukakan riwayat tersebut dalam kitab itu dan saya perlihatkan kepadanya. Setelah ia melihat riwayat tersebut, ia merasa hairan dan berkata kepada salah seorang pembantunya, " Tolong kualiti para perawi hadis ini dikaji."
.
Dari sikapnya ini, nampak sekali, kalau ia telah mendidik orang-orang di sekitarnya berani melakukan koreksi hadis. Pada hal mereka tidak punya kapisiti untuk itu. Kemudian pembantu itu datang menghampiri. Setelah beberapa lama masuk kedalam, pembantu itu pun kembali dan berkata kepadanya dengan suara agak perlahan, " Semua perawi hadis ini tsiqah (dapat dipercaya)."
.
Lalu saya berkata kepadanya, " Bagaimana hasil temuan Anda tentang semua perawi hadis ini?"
.
Ia menjawab: " Semua perawinya dapat dipercaya kecuali seorang perawi yang belum saya temukan data biografinya. Dengan demikian hadis ini dha'if, kerana ada seorang perawi yang tidak diketahui kualitinya."
.
Saya berkata: "Bagaimana Anda menghukumi hadis ini dha'if, berdasarkan alasan, Anda tidak menemukan data biografi seorang perawinya. Padahal dalam kaedah disebutkan, " Tidak menemukan data, tidak menjadi bukti bahwa data tersebut memang tidak ada." Dia berkata: " Apa maksud kaedah ini?"
.
Saya berkata: "Apabila Anda tidak menemukan data seorang perawi, itu bukan berarti perawi itu dinilai tidak diketahui kualitinya dan dha'if."
.
Ia berkata: " Kalau Anda bisa menemukan data perawi ini, saya kasi nilai sepuluh." Lalu ia berkata: "Saya sekarang sibuk, jadi tidak mungkin meneliti data perawi ini." Lalu ia bertanya siapa namaku. Saya menjawab: " Namaku Walid al-Sa'id, murid Syaikh al-Harari."
.
Demikianlah pandangan kaum WAHABI yang MENGKAFIRKAN orang bertawassul dengan nabi dan wali. Pendapat mereka, selain RAPUH, tidak memiliki dasar dari al-Quran dan hadis, juga berimplikasi pada PENGKAFIRAN terhadap Rasulullah s.a.w. para sahabat r.a. para ulama salaf dan seluruh umat Islam selain golongannya. Na'udzu billah min dzalik. Pandangan WAHABI akan RAPUH ketika dihadapkan dengan FAKTA, bahwa tawassul dengan nabi yang sudah wafat telah diajarkan Rasulullah s.a.w. para sahabat, generasi salaf, ahli hadis dan kaum Muslimin. Ihdina al-shirath al-mustaqim.
.
(Rujukan : Buku Pintar BERDEBAT dengan WAHABI, Kiyai Muhammad Idrus Ramli, cetakan Binaswaja, m.s.118-123)
.
Sekian moga ada sedikit info pada ulama hadis pujaan Wahabi tempatan ini lebih lagi pada Dr. Rozaimi memuji tinggi melangit ulama hadis rujukannya ini. Nilailah sendiri ulama rujukan kamu wahai Wahabi. Wassalam

Tiada ulasan:

Catat Ulasan