Rabu, 3 Ogos 2011

Sunan Gunung Jati




Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo.

Orang tua

Ayah

Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar.

Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husain.

Silsilah

.Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah bin
.Abdullah bin
.Ali Nurul 'Alam
.Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Khan bin
.Ahmad Jalaludin Khan bin
.Abdullah Khan bin
.Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin
.Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
.Ali Kholi' Qosam bin
.Alawi Ats-Tsani bin
.Muhammad Sohibus Saumi'ah bin
.Alawi Awwal bin
.Ubaidullah bin
.Isa Ar-Rumi bin
.Muhammad An-Naqib bin
.Ali Uradhi bin
.Ja'afar As-Sodiq bin
.Muhammad Al Baqir bin
.Ali Zainal 'Abidin bin
.Imam Hussain
Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad Rasulullah.

Ibu

Ibunda Syarif Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang putri Prabu Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Kiyan Santang bergelar Pangeran Cakrabuwana yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi.

Makam Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor.

Pertemuan orang tuanya

Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).
Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.

Pernikahan Rara Santang putri Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.

Perjalanan Hidup

Proses belajar

Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Pernikahan

Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Kesultanan Demak

Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.

Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Gangguan proses Islamisasi

Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.

Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.

Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.

Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.

Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.

Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.

Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.

Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.

Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.

Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

Perundingan Yang Sangat Menentukan

Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya ibukota Pakuan 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.

Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.

Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.

Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.

Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.

Terlepas dari benar-tidaknya pendapat kaum sufi di tanah air, sejarah telah membuktikan karakter yang sangat istimewa dari Syarif Hidayatullah baik dalam kapasitas sebagi Ulama, Ahli Strategi Perang, Diplomat ulung dan Negarawan yang bijak.

Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.

Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.



Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii). 

Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. 

Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. 

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. 

Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. 

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.n


Perjuangan Sunan Gunung Jati

By Tokoh Sejarah

Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati.

Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis.

Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sultan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis. Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya, Syarifah Muda’im minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.

Syarifah Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesantren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati.

Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi. Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu.

Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai orang putra  yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.

Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Syarif Hidayatullah yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Syarif Hidayayullah.

Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.

Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan putri Kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.

Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien di ganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah Putri Ong Tien ini membekali putranya dengan harta benda yang tidak sedikit, sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana dan Masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina. Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat.

Selesai membangun masjid, diserukan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.

Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaan ke Pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat di Malaka.

Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.

Raden Patah wafat pada tahun 1518, berkedudukannya digantikan oleh Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor, baru saja beliau dinobatkan muncullah pemberontakanpemberontakan dari daerah pedalaman, didalam usaha memadamkan pemberontakan itu Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia, gugur sebagai pejuang sahid. Pada tahun 1521 Sultan Demak di pegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa.

Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran.

Mengapa Pajajaran membantu Portugis ? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas, ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya.

Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati ? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang.

Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka, sedangkan Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.

Fatahillah kemudian diangkat segenap Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, karena Sunan Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat. Berturut-turut Fatahillah dapat menaklukkan daerah TALAGA sebuah negara kecil yang dikuasai raja Budha bernama Prabu Pacukuman. Kemudian kerajaan Galuh yang hendak meneruskan kebesaran Pajajaran lama. Raja Galuh ini bernama Prabu Cakraningrat dengan senopatinya yang terkenal yaitu Aria Kiban. Tapi Galuh tak dapat membendung kekuatan Cirebon, akhirnya raja dan senopatinya tewas dalam peperangan itu.

Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon ke dua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan.

`Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau Pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kesultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adpati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati.
Adapun nama aslinya Adipati Carbon adalah Aria Kamuning.

Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568, dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, dan pangeran Carkrabuasa beliau dimakamkan di gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai, Fatahillah dimakamkan ditempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.
Demikianlah riwayat perjuangan Sunan Gunungjati.




Analisis Historis Tentang Sunan Gunung Djati

Oleh NINA H. LUBIS
DALAM makalah ini akan dikemukakan suatu analisis historis tentang identitas Sunan Gunung Djati, salah seorang wali dari Wali Sanga, yang menjadi pendiri Kesultanan Cirebon dan Banten, sekaligus penyebar agama Islam di Jawa Barat.

Sunan Gunung Djati, menjadi tokoh utama dalam berbagai naskah lama yang dapat disebut sebagai naskah-naskah Cirebon. Selain itu, beberapa buku tentang Sunan Gunung Djati, juga telah ditulis beberapa pengarang. Bahkan yang terakhir, ada suatu studi filologi-sejarah untuk penulisan disertasi, yang berusaha menganalisis tentang Sunan Gunung Djati berdasarkan naskah-naskah lama. Jejak-jejak berupa makam masih ada pula di Gunung Sembung, dan tentu saja peninggalan lainnya yang ada di Cirebon ini. Yang menjadi obyek kajian di sini adalah sumber-sumber tertulis tentang Sunan Gunung Djati. Selain sumber naskah, dikemukakan pula sumber lain yaitu berita dari orang asing.

Kerangka Konseptual
JEJAK-JEJAK (traces) suatu peristiwa sejarah dapat dilacak melalui sumber-sumber (sources) yang ditinggalkannya. Jadi, jejak-jejak tentang Sunan Gunung Djati, bisa dilacak melalui sumber-sumber yang ditinggalkannya. Dilihat dari asal-usul sumber, sumber sejarah dapat diklasifikasikan menjadi sumber primer dan sumber sekunder, dan sumber tersier (Garraghan, 1946: 107, Alfian, 2000:9).

Yang dimaksud dengan sumber primer (primary sources) adalah bila sumber atau penulis sumber menyaksikan, mendengar sendiri (eye-witness atau ear-witness), atau mengalami sendiri (the actor) peristiwa yang dituliskan dalam sumber tersebut. Jadi, sumber hidup sezaman dengan peristiwanya itu sendiri. Sumber primer dapat dibagi dua pula, yaitu strictly primary sources (sumber primer yang kuat) dan less-strictly primary sources atau contemporary primary sources (sumber primer yang kurang kuat atau sumber primer kontemporer). Yang pertama menunjuk pada sumber yang tergolong saksi mata (eye-witness) atau pelaku (the actor), sedangkan yang kedua menunjuk pada si penulis sumber bukan saksi atau pelaku, hanya hidup sezaman dengan peristiwa.(Garraghan, 1946).

Yang dimaksud dengan sumber sekunder adalah bila sumber atau penulis sumber hanya mendengar peristiwa itu dari orang lain. Dalam hal ini, harus dibedakan antara sumber sekunder dengan sumber kontemporer. Untuk mudahnya, dapat dikatakan bahwa sumber sekunder sumber tidak hidup sezaman. Yang dimaksud dengan sumber tersier adalah semua karya tulis sejarah yang bersifat ilmiah.

Sebuah sumber sejarah mengandung informasi sejarah yang terdiri dari data (keterangan) sejarah. Data belum tentu merupakan fakta sejarah. Untuk mencari fakta, maka harus dilakukan kritik terhadap sumber sejarah. Pertama, harus dilakukan kritik ekstern, yaitu menentukan otentisitas sumber. Untuk itu diteliti:
  1. Kapan sumber itu dibuat
  2. Di mana sumber itu dibuat
  3. Materi (kertas dan tinta) apa yang dipakai.
  4. Jenis huruf, tanda tangan, meterai, tulisan tangan.
  5. Apakah sumber itu asli atau turunan. Ini berlaku terutama untuk naskah-naskah lama.
  6. Apakah sumber itu utuh atau telah diubah-ubah.
Tahap selanjutnya adalah melakukan kritik intern, yaitu untuk menentukan kredibilitas sumber. Apakah suatu sumber dapat dipercaya atau tidak isinya, perlu diteliti dua hal penting:
  1. Kemampuan sumber untuk menyampaikan kebenaran suatu peristiwa. Kemampuan ini ditentukan oleh: pertama, kedekatan pelaku atau saksi dengan peristiwa, baik kedekatan waktu maupun ruang. Jadi, bila suatu sumber ditulis oleh orang yang berada di tempat suatu peristiwa terjadi akan lebih tinggi kredibilitasnya dibandingkan dengan sumber yang ditulis oleh orang yang tidak hadir di tempat itu. Juga, suatu sumber yang ditulis oleh orang yang hidup pada waktu peristiwa itu terjadi atau hidup sezaman dengan peristiwa itu, akan lebih tinggi kredibilitasnya bila dibandingkan dengan sumber yang ditulis oleh orang yang tidak sezaman. Makin jauh dari ruang dan waktu peristiwa itu terjadi, makin rendah kredibilitas suatu sumber; dan, kedua, kompetensi pelaku atau saksi, yang ditentukan oleh tingkatan keahlian (pendidikan), kesehatan fisik dan mental, usia, ingatan, ketrampilan bercerita, dsb.
  2. Kemauan sumber untuk menyampaikan kebenaran. Hal ini dapat ditentukan oleh seberapa jauh kepentingan pelaku atau saksi dalam peristiwa itu.(Garraghan, 1946: 338-346; Gottschalk, 1975: 103-106)
Selanjutnya, harus dilakukan perbandingan antara sumber-sumber, yang bebas satu sama lain atau tidak saling mempengaruhi. Dari hasil perbandingan ini dihasilkan satu dukungan penuh untuk sebuah fakta. Prosedur ini disebut koroborasi. Jelaslah, bahwa fakta dalam hal ini adalah sebuah konstruk (Kartodirdjo, 1992:17).

Artinya, fakta dibangun oleh pikiran sejarawan. Fakta-fakta inilah yang kemudian diinterpretasikan oleh sejarawan, sehingga lahir sebuah sintesis, yang tentu saja tidak bisa lepas sepenuhnya dari unsur subyektif si sejarawan itu  sendiri, meski ia berusaha untuk obyektif. Itulah sebabnya, sebuah kisah sejarah dapat diubah dengan jalan melakukan reinterpretasi. Akan tetapi, reinterpretasi ini, hanya bisa dilakukan apabila:
  1. Ditemukan sumber kontemporer yang sebelumnya tidak ditemukan.
  2. Adanya kekeliruan yang terdapat dalam sumber-sumber terkait.
  3. Adanya interpretasi baru terhadap fenomena sejarah yang telah dikenal (Alfian, 2000:9).
Ketika melakukan interpretasi, maka pendekatan yang bersifat hermeneutika dapat dipergunakan. Secara lebih tepat, metode verstehen yang dikemukakan oleh Wilhelm Dilthey bisa dipergunakan sehingga analisis yang dilakukan benar-benar historical-mindedness.(Haddock, 1980: 152; Ankersmith, 1987: 153-170; Lloyd, 1988: 85-95; Iggers,1997: 39)

Apabila sumber yang ada ternyata ada satu sumber primer, sehingga tidak ada sumber pembanding, atau sumber-sumber yang ada hanya merupakan sumber-sumber sekunder tanpa ditemukan sumber primer sebagai pembanding, sehingga prosedur koroborasi tidak dapat dilakukan, maka berlakulah prinsip argumentum ex silentio. Artinya, pendapat ini untuk sementara bisa diterima asalkan tidak terdapat kontradiksi di dalamnya. Perlu ditegaskan bahwa prinsip ini dalam metode sejarah merupakan cara pengujian yang lemah (Garraghan, 1946: 162-166).

Sunan Gunung Djati dalam Sumber-sumber Tertulis
1. Sumber Lokal
Hingga saat ini, belum ditemukan sumber tertulis berupa prasasti ataupun tulisan dalam benda-benda peninggalan purbakala yang memberikan informasi tentang Sunan Gunung Djati (selanjutnya disingkat SGD). Yang ada yaitu sumber tulisan berupa naskah, yaitu karangan yang ditulis dengan tangan (dalam perkembangannya, naskah juga meliputi karangan yang ditik tetapi belum diterbitkan). Naskah-naskah yang berisi informasi tentang SGD, tergolong karya sastra sejarah, yaitu karya yang terdiri dari tiga unsur: sejarah, sastra, dan mitos.

Menurut penelitian paling mutakhir yang dilakukan Dadan Wildan (2001) untuk bakal disertasinya yang berjudul Ceritera Sunan Gunung Djati; Keterjalinan antara Legenda dan Fakta, hingga saat ini naskah-naskah tentang SGD yang telah ditemukan orang telah ditulis sejak awal abad ke-18. Artinya, naskah-naskah itu ditulis kira-kira satu setengah abad setelah SGD wafat. Naskah-naskah yang menceritakan tentang SGD ditemukan di Cirebon dan Priangan antara lain berjudul Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Cirebon, Sajarah Babad Nagari Cirebon, Babad Sunan Gunung Djati, Wawacan Sunan Gunung Djati, Babad Walangsungsang, Wawacan Walangsungsang, dan Sajarah Lampah Para Wali Kabeh. Naskah-naskah ini sebagian besar ditulis dalam huruf Arab Pegon dan huruf Jawa, sebagian kecil dalam huruf Latin, dengan menggunakan bahasa Jawa Cirebon, Sunda, dan Melayu, baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Naskah-naskah ini disimpan di berbagai perpustakaan: di Bandung, Jakarta, dan di Negeri Belanda, selain yang masih ada dalam koleksi pribadi di berbagai tempat di Jawa Barat (Wildan, 2001:3-4).

Dari sumber-sumber historiografi tradisional dapat dikemukakan ringkasan kisah tentang SGD sebagai berikut:

Dikisahkan Ki Gedeng Sedhang Kasih, sebagai kepala Nagari Surantaka, bawahan Kerajaan Galuh. Ki Gedeng Sedhang Kasih, yang merupakan adik Raja Galuh, Prabu Anggalarang, memiliki puteri bernama Nyai Ambet Kasih. Puterinya ini dinikahkan dengan Raden Pamanah Rasa, putra Prabu Anggalarang.

Sementara itu di Nagari Singapura, tetangga Nagari Surantaka, diadakan sayembara untuk mencari jodoh bagi putri Ki Gedeng Tapa, Mangkubumi Singapura. Ternyata Raden Pamanah Rasalah yang memenangkan sayembara itu, sehingga ia  menikahi sang puteri yang bernama Nyai Subang Larang. Dari perkawinan ini lahirlah tiga orang anak yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sangara  Setelah ibunya meninggal, Raden Walangsungsang pergi meninggalkan keraton, disusul kemudian oleh Nyai Lara Santang. Keduanya tinggal di rumah pendeta Budha, Ki Gedeng Danuwarsih yang memiliki seorang puteri cantik bernama Nyai Indang Geulis. Raden Walangsungsang kemudian menikahi puteri pendeta ini dan setelah itu mereka pergi berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi. Raden Walangsungsang diberi nama baru yaitu Ki Samadullah, dan kelak sepulang dari tanah suci diganti nama menjadi Haji Abdullah Iman.  Setelah tamat belajar di pesantren Syekh Datuk Kahfi, Raden Walangsungsang dianjurkan oleh gurunya untuk membuka daerah baru yang diberi nama Tegal Alang-alang atau Kebon Pesisir, di mana tinggal paman Nyai Indang Geulis.

Raden Walangsungsang alias Ki Samadullah berhasil menarik para pendatang. Daerah Tegal Alang-alang berkembang dan banyak didatangi oleh orang-orang Sunda, Jawa, Arab, dan Cina, sehingga disebutlah daerah ini “Caruban” artinya campuran. Di tempat ini bukan hanya berbagai etnis bercampur, agama juga bercampur. Misalnya saja, Ki Gedeng Danusela yang beragama Budha sebagai “kuwu” bercampur dengan Raden Walangsungsang yang beragama Islam sebagai “pangraksabumi” yaitu pejabat yang mengurusi pertanian dan perikanan, sehingga ia digelari Ki Cakrabumi.

Atas saran gurunya, Raden Walangsungsang pergi ke tanah suci bersama adiknya, Nyai Lara Santang, karena Nyai Indang Geulis sedang hamil tua. Di tanah suci inilah, Nyi Lara Santang menikah dengan Maulana Sultan Muhamad, bergelar Syarif Abdullah keturunan Bani Hasyim putra Nurul Alim. Suami Nyai Lara Santang ini adalah anak penguasa Kota Ismailiyah dan wilayah Palestina, yang menjadi bawahan Mesir. Nyai Lara Santang pun diganti namanya menjadi Syarifah Mudaim. Dari perkawinan ini lahirlah Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Djati. Dilihat dari genealogi dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari,  Syarif Hidayatullah yang nantinya menjadi salah seorang dari Wali sanga, menduduki generasi ke-22 dari Nabi Muhammad.

Setelah perkawinan adiknya, Ki Samadullah yang bergelar Haji Abdullah Iman memutuskan kembali ke Jawa dengan maksud mengembangkan agama Islam di tanah leluhurnya. Setibanya di tanah air, ia mendirikan Masjid Jalagrahan, dan kemudian mem-buat rumah besar yang nantinya menjadi Keraton Pakungwati. Di sanalah ia meneruskan tugasnya sebagai pembantu Ki Danusela, Kuwu Caruban. Setelah Ki Danusela meninggal, Ki Samadullah diangkat menjadi Kuwu Caruban dan digelari Pangeran Cakrabuana

Pakuwuan Caruban kemudian ditingkatkan menjadi Nagari Caruban Larang. Dengan demikian Pangeran Cakrabuana menjadi penguasan nagari yang juga merangkap ulama. Selanjutnya ia mendapat gelar dari ayahandanya, Prabu Siliwangi, sebagai Sri Mangana. Selanjutnya diceritakan  bahwa Syarif Hidayatullah yang dibesarkan di negara ayahnya, setelah berusia dua puluh tahun pergi berguru kepada beberapa ulama di Mekah dan Bagdad selama beberapa tahun. Setelah itu ia kembali ke negeri ayahandanya. Ketika ayahnya meninggal dunia, ia diminta menggantikan posisi ayahnya, tetapi permintaan itu ditolaknya. Bahkan dimintanya adiknya yang bernama Nurullah, menggantikan dirinya. Ia sendiri memilih untuk pergi ke Jawa guna menyebarkan agama Islam. Tokoh Nurullah ini, dalam salah satu sumber disebutkan sebagai orang Pasai, yang nantinya merantau ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam, dan terkenal sebagai Fatahillah atau Falatehan.

Dalam perjalanannya ke Jawa, Syarif Hidayatullah singgah di Gujarat selama beberapa waktu, kemudian singgah pula di Pasai dan tinggal di rumah seorang ulama bernama Syarif Ishak. Setelah beberapa lama, Syarif Hidayatullah meneruskan perjalanannya dan singgah di Banten yang waktu itu penduduknya ada yang sudah beragama Islam, berkat syiar yang dilakukan Sunan Ampel. Syarif Hidayatullah merasa sangat tertarik untuk belajar kepada wali yang berasal dari Jawa Timur ini. Ketika Sunan Ampel pulang, Syarif Hidayatullah ikut pergi ke Ampel dan tinggal di sana untuk memperdalam soal syiar Islam dari Sunan Ampel. Dengan persetujuan Sunan Ampel dan para wali lainnya yang tergabung dalam Wali Sanga, Syarif Hidayatullah diminta untuk menyebarkan agama Islam di Tatar Sunda. Pergilah ia ke Caruban Larang dan bergabung dengan uwaknya, Pangeran Cakrabuana.

Syarif Hidayatullah tiba di pelabuhan Muara Djati kemudian terus ke Desa Sembung-Pasambangan, dekat Giri Amparan Djati, pada tahun 1475 (ada naskah yang menyebut tahun 1470). Di sana ia mengajar agama Islam menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia. Perlahan-lahan ia menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat yang menganggapnya sebagai orang asing dari Arab. Ia kemudian digelari Syeh Maulana Djati atau Syeh Djati. Syeh Djati mengajar juga di Dukuh Babadan. Di sana ia menemukan jodohnya dengan Nyai Babadan puteri Ki Gedeng Babadan. Tidak lama kemudian isterinya sakit dan meninggal dunia. Syeh Djati kemudian menikah lagi dengan Dewi Pakungwati puteri Pangeran Cakrabuana. Jadi ini merupakan pernikahan dengan saudara sepupu sendiri. Setelah itu Syeh Djati menikah lagi dengan Nyai Lara Bagdad, puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi

Syeh Djati kemudian pergi ke Banten untuk mengajarkan agama Islam di sana. Ternyata Bupati Kawunganten yang keturunan Pajajaran sangat tertarik, sehingga ia masuk Islam dan memberikan adiknya untuk diperisteri. Dari perkawinan dengan Nyai Kawung-anten ini lahirlah Pangeran Sabakingkin, yang kelak dikenal sebagai Maulana Hasanudin pendiri Kerajaan Banten. Sementara itu Pangeran Cakrabuana meminta agar Syeh Djati menggantikan kedudukannya dan Syarif Hidayatullah pun kembali lagi ke Caruban. Di sana ia dinobatkan oleh uwaknya sebagai kepala nagari dan digelari Susuhunan Djati atau Sunan Djati atau Sunan Caruban (Cerbon). Sejak tahun 1479 itulah Caruban Larang dari sebuah nagari mulai dikembangkan sebagai pusat sebuah kesultanan dan namanya diganti menjadi Cerbon.

Berdasarkan keterangan dalam naskah-naskah tersebut hal yang paling menarik untuk dikemukakan adalah tentang:
  1. Silsilah SGD. Leluhur SGD dalam sebagian naskah dihubungkan dengan tokoh-tokoh pewayangan dari garis ibu dan dan dihubungkan dengan para nabi dari garis ayah. Dalam naskah lainnya, SGD hanya dihubungkan dengan para nabi dari garis ayah dan dengan tokoh Prabu Siliwangi dari garis ibu (misalnya dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari).
  2. SGD sebagai Penyebar Islam di Jawa Barat. Dalam naskah-naskah di atas secara bervariasi, dapat ditemukan informasi, bagaimana SGD mencari ruh Nabi Muhammad SAW, kemudian berguru agama Islam. Kepada para ulama di Bagdad, di Mekah, dan di Pasai. Selanjutnya dikisahkan pula bagaimana SGD meng-Islamkan tanah Jawa (Banten, Cirebon, dan daerah-daerah lainnya di Jawa Barat) dan juga Cina.
  3. Hubungan SGD dengan Faletehan. Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, diinformasikan bahwa Faletehan atau Fadillah Khan adalah menantu Sunan Gunung Djati.
2. Sumber asing.
a. Sumber Portugis. Sumber asing pertama yang menyebut-nyebut tentang elite politik Cirebon, adalah Tome Pires. Ia adalah seorang sekretaris dan akuntan Portugis yang tinggal di Malaka dari tahun 1511-151 dan pernah berkunjung ke Cirebon antara bulan Maret-Juni 1513.(De Graaf, 1974: 138; Siddique, 1977: 24). Pengalamannya selama malang-melintang di dunia Timur ini dituliskannya dalam sebuah buku yang berjudul Suma Oriental (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Armando Cortesao dan diterbitkan pada tahun 1944). Dalam buku ini disebutkan bahwa “The land of Cherimon” (daerah Cirebon) dikepalai oleh Lebe Uca, yang merupakan vassal seorang lord dari Demak, yaitu Pate Rodim.

Seorang sejarawan Portugis, Joan de Barros dalam tulisannya yang berjudul Da Asia, menyebutkan tentang Falatehan yang sekembalinya dari Mekah ke Pasai, menemukan Pasai sudah dikuasai orang-orang Portugis. Falatehan kemudian pergi ke Demak, dan dengan dukungan Raja Demak, ia pergi ke Banten untuk menyebarkan agama Islam di sana. Ketika situasi dinilainya menguntungkan, dengan bantuan tentara Demak, secara cepat ia menaklukkan Banten dan kemudian Sundakalapa, yang pada waktu itu merupakan dua pelabuhan terbesar milik Kerajaan Sunda. Barros tidak menyebutkan kapan peristiwa ini terjadi.

Sumber lainnya yang memberitakan Cirebon periode awal, adalah Mendez Pinto, yang pergi ke Banten untuk mengapalkan lada. Dalam bukunya Perigrinacoes, ia menceritakan bahwa di kota pelabuhan itu, ia terkatung-katung hingga dua bulan karena rupanya Demak sedang bersiap-siap menyerbu Pasuruan pada tahun 1546 Mendez  Pinto menceritakan bahwa pada waktu itu, ia dengan beberapa orang kawan Portugisnya mengikuti Tagaril, raja Sunda di Banten, ke Demak atas panggilan Raja Demak untuk ikut penyerangan ke Pasuruan.

Ternyata di Demak terjadi kerusuhan yang menyebabkan tewasnya Sultan Demak Di samping Sultan Trenggono, menurut Mendez Pinto, yang tewas dalam penyerbuan itu adalah “Quiay Ansedaa Pate de Cerbom”.

b. Sumber Belanda. SGD sudah wafat ketika orang Belanda tiba di Pulau Jawa. Pada tahun 1596, rombongan para pedagang Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman mendarat di Banten. Pada tahun yang sama orang Belanda pertama yang datang ke Cirebon, melaporkan bahwa Cirebon pada waktu itu merupakan kota dagang yang relatif kuat yang sekelilingnya dibenteng dengan sebuah aliran sungai (Djajadiningrat, 1913/1983: 97).Menurut Frederick de Haan, penulis adikarya kompilasi arsip sejarah Priangan, benteng yang disebut-sebut oleh pedagang Belanda itu, dibangun pada tahun 1590 oleh Senapati dari Mataram untuk Panembahan Ratu, cucu Sunan Gunung Djati yang menjadi pengganti kakeknya sebagai penguasa Cirebon. Pejabat VOC  pertama yang datang ke Kerajaan Cirebon, adalah wakil Gubernur Jenderal yang dalam perjalanannya ke Mataram, singgah di sana pada tahun 1622. Ia bertemu dengan Panembahan Ratu yang saat itu usianya sudah sangat lanjut..


Analisis
KISAH Sunan Gunung Djati yang terdapat dalam berbagai naskah yang disebut di atas, tentu saja bukan kisah sejarah dalam arti “sejarah sebagaimana ia terjadi” (wie est eigentlich gewesen ist), seperti kata Leopold von Ranke. Semua naskah itu tergolong historiografi tradisional, yang selain mengandung unsur sejarah, juga mengandung unsur sastra dan mitos. Hal ini bisa dipahami, karena sebuah historiografi tradisional ditulis bukan semata dimaksudkan menulis sejarah, melainkan dimkasudkan untuk meneguhkan nilai-nilai budaya masyarakat yang berlaku saat naskah ditulis.

Naskah-naskah itu, sebagaimana telah disebut, ditulis jauh dari masa Sunan Gunung Djati hidup. Jadi, naskah itu tidak tergolong naskah sezaman (kontemporer), jadi bukan sumber primer. Dengan demikian, informasi yang terkandung di dalamnya, bisa dipastikan kredibilitasnya tidak setinggi kalau naskah-naskah itu berasal dari masa Sunan Gunung Djati hidup. Oleh karena itu, perlu dikemukakan sumber-sumber primer. Dalam hal ini, sejarawan berpaling kepada berita-berita Portugis yang sezaman.
  1. Mengenai silsilah SGD yang dihubungkan dengan tokoh-tokoh pewayangan dan di pihak lain dengan para Nabi (hingga Nabi Adam), dan juga dengan Prabu Siliwangi dapat dianggap sebagai unsur mitos yang sulit dibuktikan secara historis. Secara hermeneutis, hal ini dapat dipahami, mengingat fungsi sebuah naskah, antara lain untuk meneguhkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat sekaligus juga dapat dipakai sebagai alat legitimasi SGD sebagai penyebar Islam sekaligus sebagai raja. Andaikata ada sumber primer yang bisa dijadikan sebagai pembanding, kita mungkin bisa mendapat informasi secara tepat siapa sesungguhnya orang tua dan kakek SGD baik dari pihak ayah maupun ibu. Sayangnya hingga saat ini belum ditemukan sumber primer semacam itu.
  2. Mengenai Sunan Gunung Djati sebagai penyebar Islam di Jawa Barat dan pendiri Kerajaan Cirebon, diinformasikan oleh semua naskah. Secara hermeneutis pula, bisa dipastikan bahwa sebelum menyebarkan agama Islam, pastilah SGD berguru terlebih dahulu ke berbagai tempat di mana ada ulama-ulama terkenal dan tentu termasuk ulama di Mekkah. Akan tetapi soal pertemuannya dengan ruh Nabi Muhammad dan kisah-kisah legendaris lainnya tidak bisa dibuktikan secara historis. Hal seperti ini dapat diklasifikasikan sebagai mentifact , yang hanya dipercayai oleh orang-orang yang percaya saja. Ini juga adalah bagian dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Andaikata Sunan Gunung Djati adalah sama dengan Faletehan, informasi dari naskah mendapat dukungan dari sumber primer Portugis, yang menyebutkan adanya tokoh yang berasal dari Pasai ini yang mengIslamkan Banten. Bahkan informasi ini didukung oleh dikenalnya tokoh Wali ini di berbagai tempat hingga sekarang. Ketika Sunan Gunung Djati berkeliling di Tatar Pasundan dalam rangka penyebaran agama Islam, daerah-daerah yang dijelajahnya ternyata mencapai daerah Ukur Cibaliung (Kabupaten Bandung),  Timbanganten (Kabupaten Garut), Pasir Luhur, Batulayang, dan Pegadingan (wilayah sebelah Barat dan Selatan Sumedanglarang) (De Haan, 1912: 40-41). Jadi, diperkirakan wilayah yang dijelajahi Sunan Gunung Djati itu meliputi 2/3 wilayah Jawa Barat sekarang.

Sebagai pendiri Kerajaan Cirebon dan Banten, selain diinformasikan oleh naskah sebagai sumber sekunder, hal ini didukung oleh sumber Portugis maupun sumber Belanda yang mendapat informasi dari cucu SGD yang menjadi penguasa Cirebon waktu itu, yaitu Panembahan Ratu. Dalam penjelasannya, Atja (1972), menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Lebe Uca” oleh Tome Pires adalah “Sunan Gunung Djati” dan “Pate Rodim” adalah “Raden Patah” Sultan Demak. Bukanlah hal yang aneh, bila pengucapan dan penulisan kata-kata dari bahasa pribumi oleh orang asing, menjadi berbeda dari aslinya. Demikian juga sebaliknya, orang pribumi sulit menyebut kata-kata asing, dan lebih mudah mengubah pengucapan dan penulisan sehingga sesuai dengan lidahnya sendiri. Misalnya saja “Jan Pieterszoen Coen”, dalam historiografi tradisional, semacam babad,  disebutkan sebagai “Murjangkung”. Gejala verbastering seperti ini sudah biasa ditemui dalam berbagai sumber sejarah lama.

Oleh karena orang asing yang datang biasanya juga tidak begitu mengenal situasi dan kondisi kemasyarakatan pribumi, apalagi bila kunjungan hanya dilakukan dalam waktu singkat, maka seringkali data sejarah yang dituliskannya menjadi tidak tepat, mengalami distorsi, bahkan bias. Misalnya saja ia menyebut bahwa Lebe Uca adalah vassal Pate Rodim. Jelas, bahwa Tome Pires berpikir menurut kerangka pikirannya sendiri. Konsep vassal  dan lord  adalah konsep Barat yang berhubungan dengan feodalisme. Dalam sistem feodal yang mulai dikenal di Perancis Selatan pada abad ke sembilan, penguasa atau lord adalah pemilik tanah beserta penduduk yang tinggal di atasnya. Untuk mengelola kekuasaannya, seorang lord biasanya mengikat kontrak dengan penguasa-penguasa kecil yang menjadi bawahannya, yang disebut para vassal. Seorang vassal dapat juga memiliki para subvassal, untuk memudahkan pekerjaannya. Dalam kontrak seperti ini, seorang vassal memiliki beberapa kewajiban antara lain, mengelola tanah milik lord dan menyerahkan sebagian hasilnya kepada pemilik, memberikan bantuan militer bila lord terlibat dalam peperangan, dan sejumlah kewajiban lainnya yang meng-ikat. (Bloch, 1961; Coulborn, 1956; Weber, 1964). Mungkin, Tome Pires melihat fenomena hubungan politik yang ada di Cirebon saat itu seperti sistem feodal di Barat, sehingga ia menyimpulkan bahwa Lebe Uca, penguasa Cirebon waktu itu adalah vassal Sultan Demak.

Seperti disebut di atas, menurut De Barros, Faletehan berhasil melakukan serangan ke Banten dan Sundakalapa. Meski Barros tidak menyebut kapan peristiwa itu terjadi, tetapi diperkirakan ini terjadi antara tahun 1526-1527. Penjelasannya adalah demikian: Pada tahun 1522, Henrique Leme, seorang pedagang besar Portugis, telah menandatangani perjanjian dengan Raja Sunda untuk mengirimkan 35.000 pon lada. Akan tetapi ketika Gubernur Malaka mengirim Fransisco de Sa ke Sundakalapa lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1527, pelabuhan tersebut sudah dikuasai oleh orang-orang Muslim. Jadi, diperkirakan bahwa penaklukan Sundakalapa oleh pasukan Islam dari Demak terjadi beberapa saat sebelum utusan Portugis itu tiba di sana.
  1. Apakah Sunan Gunung Djati sama dengan Faletehan? Hoesein Djajadiningrat, dalam disertasinya yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten (1913), membuat interpretasi bahwa tokoh Faletehan yang disebut oleh De Barros sama dengan tokoh Tagaril yang disebut Mendez Pinto dan sama denga tokoh SGD. Mereka bertiga hidup sezaman. Meskipun sezaman, masih harus dipertanyakan, apakah kedua sumber Portugis ini benar-benar pernah bertemu dengan Sunan Gunung Djati, yang nama sebelum wafatnya adalah Syarif Hidayat. Yang mungkin pernah mereka temui adalah tokoh Faletehan, dan tokoh Tagaril itu. Interpretasi Djajadiningrat saat ini masih diikuti banyak kalangan. Dari segi metode sejarah, prosedur koroborasi masih tetap diperlukan, untuk menjadikan pendapat Djajadiningrat sebagai fakta keras. Untuk itu masih diperlukan sumber sezaman atau sumber primer yang bisa memberikan pendukungan atas data yang sudah ada. Mungkin saja diperlukan penggalian arkeologis untuk menemukan sumber ini..
  2. Selanjutnya Atja (1972), membuat penjelasan berdasarkan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang ditulis tahun 1720 oleh Pangeran Arya Cirebon, bahwa Faletehan atau Tagaril itu tidak sama dengan SGD. Faletehan atau Falatehan adalah menantu Sunan Gunung Djati. Hal ini ditunjukkan pula dengan adanya dua makam berdampingan di Gunung Sembung, yang menurut naskah Carita Purwzaka Caruban Nagari adalah makam SGD dan Fadillah Khan. Hanya patut dicatat bahwa menurut kesaksian paling mutakhir dari Dadan Wildan (2001) yang melakukan ziarah ke makam tesebut, di atas nisan kedua makam itu tidak ada tulisan yang menunjukkan identitas tentang siapa yang dimakamkan di sana.
  3. Apa yang dikemukakan dalam naskah karya Pangeran Arya Cirebon itu, perlu mendapat dukungan dari sumber primer atau sumber sezaman, karena bagaimanapun naskah itu ditulis satu setengah abad setelah wafatnya SGD (meskipun menurut keterangan naskah itu dibuat berdasarkan sumber yang lebih tua). Prosedur koroborasi menuntut adanya sumber bebas yang bisa mendukung pendapat dari sumber sekunder itu. Hingga saat ini, sumber primer yang diperlukan belum ditemukan. Kalaupun mau menggunakan prinsip argumentum ex silentio, dalam ketiadaan sumber yang lebih bisa dipercaya, maka interpretasi ini bisa saja untuk sementara diterima, meskipun tingkat pengujiannya tidak cukup kuat untuk bisa menghasilkan fakta keras atau fakta yang tak terbantah.
Penutup
DALAM makalah ini hampir tidak ada reinterpretasi tentang SGD. Pendapat yang ada hingga penelitian paling mutakhir (2001) tidak menampilkan sumber baru atau keterangan baru tentang SGD. Yang bisa diterima hingga saat ini adalah bahwa SGD adalah salah seorang wali dari Wali Sanga yang menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat dan menjadi pendiri Kerajaan Cirebon dan Banten. Selain itu, masih ada dua interpretasi: pertama bahwa SGD sama dengan Faletehan dan kedua, bahwa SGD tidak sama dengan Faletehan. Kedua pendapat ini sah-sah saja dalam Ilmu Sejarah. Untuk memastikan pendapat  atau interpretasi mana yang benar sehingga bisa dianggap sebagai fakta keras, masih perlu ditempuh prosedur koroborasi. Untuk itu, marilah kita berikhtiar mencari sumber primer atau sumber sezaman yang diperlukan untuk itu. Wallahu ‘alam Bissawab.

Daftar Pustaka
  • Ankersmith, F.R. 1987. Refleksi tentang Sejarah (terj.). Jakarta: Gramedia.
  • Atja.(ed.) 1972. Carita Purwaka Caruban Nagari. Djakarta: Ikatan Karyawan Museum.
  • Bloch, Marc. 1961. Feudal Society (translated by L.A. Manyon). Chicago: The University of Chicago Press.
  • Coulborn, Rushton (ed.). 1956. Feudalism in History. Princeton: Princeton University Press.
  • De Graaf, H.J. dan Th. G. Th. Pigeaud. 1974. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (terj.).  Jakarta: Grafitipers.
  • De Haan, Frederick. 1912. Priangan; De Preanger Regentschappen onder het Neder- landsch Bestuur tot 1811. Batavia: Kolff.
  • Djajadiningrat, Hoesein. 1913/1983. Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten. (terj.). Jakarta: Penerbit Djambatan.
  • EkaDjati, Edi S. et al 1991. Sejarah Cirebon Abad Ketujuh Belas. Bandung: Unpad.
  • Garraghan, Gilbert J. 1946. A Guide to Historical Method. New York: Fordham University Press.
  • Haddock, B.A. 1980. An Introduction to Historical Thought.London: Edward Arnold.
  • Hageman, C.J.Z. 1869. Geschiedenis der Soendalanden.
  • Herlina, Nina. 1984. Peranan Pangeran Aria Cirebon sebagai Perantara Kompeni dengan Para Bupati Priangan. Skripsi. Bandung: Unpad.
  • Iggers, Georg. G. 1997. Historiography in the Twentieth Century; From Scientific Objectivity tio the Postmodern Challenge.  London: WesleyanUniversity Press.
  • Kielstra, E.B. 1917. “De Sultans van Cheribon”, De Indische Archipel. Haarlem: De Erven F. Bohr.
  • Lubis, Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan (1800-1942). Disertasi. Bandung Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
  • _____. 2000. Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda. Bandung: HUP
  • _____. (ed.). 2000. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa-Barat. Bandung: HUP.
  • Raffles, Thomas Stamford. 1817/1982. History of Java. II. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
  • Siddique, Sharon. 1977. Relics of the Past? A Sociological Study of the Sultanates of Cirebon, West Java.  Disertasi. Universitas Bielefeld.
  • Sulendraningrat, P.S. t.t. Babad Tanah Sunda Babad Cirebon.
  • Sunardjo, R.H. Unang. 1983. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809. Bandung: Tarsito.
  • _____. 1996. Selayang Pandang Sejarah Masa Kejayaan Kerajaan Cirebon; Kajian dari Aspek Politik dan Pemerintahan. Cirebon: Yayasan Kraton Kasepuhan Cirebon.
  • Van den Berg, L.W.C. 1902. De Inlandsche Rangen en Titels op Java en Madoera. Batavia: Kolff.
  • Weber, Max. 1964. The Theory of Social and Economic Organization (translated by A.M. Henderson and Talcott Parsons). New York: The Free Press
  • Wildan, Dadan. 2001. Ceritera Sunan Gunung Djati; Keterjalinan Antara Legenda dan Fakta (naskah disertasi.)
Sumber: Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional “Sejarah Sunan Gunung Djati dan Pengembangan Pariwisata Sejarah Budaya Islam” di Keraton Kasepuhan Cirebon, 22-23 April 2001.




Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).

Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.

Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.

Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.


1 ulasan:

  1. 🛡Assalamualaikum🛡

    *Group Telegram Keilmuan Langka*
    ⚔Perisai Diri & Keluarga
    ⚔Perawatan Diri &Keluarga
    ⚔Belajar Melalui Guru Bersanad.
    ⚔Boleh Merawat Tanpa Menggunakan Khidmat Orang Lain.
    ⚔Keilmuan Putih HaQ

    SiLaLah Ke Group Keilmuan👇🏼👇🏼👇🏼
    http://t.me/keilmuanhaq

    http://t.me/sahabatkhalifah313

    BalasPadam