Rabu, 3 Ogos 2011

Sunan Kalijaga





sumber : http://ms.wikipedia.org/wiki/Sunan_Kalijaga

Sunan Kalijaga dipercayai lahir sekitar tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia merupakan anak lelaki adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta/Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.

Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan berkahwin dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 anak lelaki: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.

Ketika meninggal dunia, beliau dimakamkan di desa Kadilangu, sebelah timur laut kota Bintoro, Demak.

Budaya

Ada beberapa kreasi seni budaya yang dipercayai diasaskan oleh Sunan Kalijaga, antara lain Sekatenan, Grebeg Maulud, Layang Kalimasada dan lakon wayang Petruk Jadi Raja.

Tempoh usia Sunan Kalijaga dipercayai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia melalui tempoh akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia turut terbabit dengan perancangan pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah hasil tangan Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Fahaman keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai cara untuk berdakwah.

Ia sangat bertolak-ansur pada budaya tempatan. Dia berpendapat bahawa masyarakat akan menjauhi jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah difahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai cara dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid dipercayai sebagai karya Sunan Kalijaga.

kaedah dakwahnya tersebut sangat berkesan. Sebahagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak




Dialah "wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.
 
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
 
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam ('kungkum') di sungai (kali) atau "jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab "qadli dzaqa" yang menunjuk statusnya sebagai "penghulu suci" kesultanan.
 
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
 
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
 
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
 
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
 
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede - Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.n



Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga

Date May 31, 2006

Ana kidung rumeksa ing wengi

teguh hayu luputa ing lara

luputa bilahine kabeh

jim setan datan purun

paneluhan tan ana wani

miwah panggawe ala

gunaning wong luput

geni atemahan tirta

maling adoh tan ana ngarah ing mami

guna duduk pan sirna
Ada lagu yang mengalun di malam hari. Lagu yang menjadikan kuat, selamat, dan terbebas dari semua penyakit. Terbebas dari segala macam petaka. Jin dan setan pun tidak mau. Segala jenis sihir tidak ada yang berani, apalagi perbuatan jahat. Guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuri pun menjauh dariku. Segala bahaya akan sirna.


Potongan syair di atas adalah syair Jawa yang disebut macapat. Kategori macapat ini adalah Dhandhanggula. Syair ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga, salah satu anggota Wali Songo yang berperan besar dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Syair ini diciptakan Sunan untuk dilantunkan di malam hari dan berdo’a kepada Allah SWT.

Sunan Kalijaga, seperti halnya Syekh Siti Jenar, memang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa melalui sisi budaya. Seperti diketahui banyak orang, Islam menemui banyak halangan untuk berkembang di tanah Jawa karena bertemu dengan kultur yang sudah sangat kuat, yaitu kultur Hindu/Buddha di bawah pengaruh kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, Sunan Kalijaga melakukan transmogrifikasi dengan memasukkan unsur-unsur Islam dalam budaya-budaya Jawa seperti memasukkannya ke dalam syair-syair macapat, memodifikasi wayang kulit, menciptakan lagu yang sangat terkenal, Lir-Ilir, dsb. Pendekatan budaya seperti ini yang memang tidak disebutkan secara literalistik linguistik dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist menyebabkan banyak pihak menganggap ajaran-ajaran Sunan Kalijaga adalah bid’ah.

Keterangan panjang lebar di atas kudapatkan dari buku Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga yang ditulis oleh Achmad Chodim dan diterbitkan oleh penerbit Serambi (penerbit yang juga mengeluarkan versi Indonesia dari The Da Vinci Code yang fenomenal itu). Buku ini tidak memaparkan sejarah Sunan Kalijaga, melainkan ajaran-ajaran Sunan Kalijaga secara komplit, mulai dari tembang rumeksa ing wengi, puasa mutih 40 hari 40 malam, selamatan, hakikat diri manusia, saudara empat, dll. Buku ini memaparkan ajaran-ajaran tersebut tanpa menjustifikasi bahwa ajaran-ajaran tersebut adalah bid’ah, bahkan cenderung melakukan pembelaan dengan alasan-alasan yang dikemukakan. 

Cukup enak dibaca, karena meskipun materi yang dibahas adalah berat dan kontroversial, buku ini menggunakan pengantar bahasa yang super ringan, bahkan agak terlalu ringan sehingga aku pikir tidak layak sebuah buku menggunakan bahasa seringan ini. Buku ini kurasa cukup banyak memberikan sisi dan sudut lain tentang bagaimana memandang Islam untuk memberikan sudut pandang yang lebih luas. Overall, nilainya 7 dari skala 1-10.

 Makam Sunan Kalijaga 

Sunan Kalijaga


Hutan Jatiwangi, pada suatu masa. Di rindang lebat pepohonan jati di kawasan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, itu dua lelaki berbeda umur tegak berhadapan. Yang satu pemuda berpakaian serba hitam. Di depannya seorang pria lebih tua, dibalut busana serba putih. Sebatang tongkat menyangga tubuhnya.

Pemuda berbaju hitam itu bernama Lokajaya, berandal yang gemar membegal pejalan yang melewati hutan Jatiwangi. Ia silau oleh kemilau kuning keemasan gagang tongkat yang dibawa pria berjubah putih. Siapa pun orang berjubah putih itu, layaklah ia menjadi mangsa Lokajaya. Dan ketika tongkat itu direbut, orang tua tadi sama sekali tak berlawan.

Ia tersungkur di tanah, kehilangan keseimbangan. Tongkat berkepala emas itu berpindah tangan. Bangkit dari jatuhnya, orang tua itu memberi nasihat, dengan tutur kata lembut. Nasihat inilah yang mengubah jalan hidup Lokajaya. Ia menjadi murid orang tua itu –yang tiada lain daripada Sunan Bonang. Lokajaya sendiri kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga.

Begitulah legenda Sunan Kalijaga mengalir, dalam berbagai versi. Jalan hidup sunan yang satu ini tercantum dalam berbagai naskah kuno, babad, serat, hikayat, atau hanya cerita tutur turun-temurun. Mudah dipahami kalau muatannya berbeda-beda. Begitu pula halnya dengan asal-usul Sunan Kalijaga.

Menurut Babad Tanah Jawi, Sunan Kalijaga adalah putra Wilwatikta, Adipati Tuban. Nama aslinya Raden Said, atau Raden Sahid. Menurut babad dan serat, Sunan Kalijaga juga disebut Syekh Malaya, Raden Abdurrahman, dan Pangeran Tuban. Gelar ”Kalijaga” sendiri punya banyak tafsir.

Ada yang menyatakan, asalnya dari kata jaga (menjaga) dan kali (sungai). Versi ini didasarkan pada penantian Lokajaya akan kedatangan Sunan Bonang selama tiga tahun, di tepi sungai. Ada juga yang menulis, kata itu berasal dari nama sebuah desa di Cirebon, tempat Sunan Kalijaga pernah berdakwah.

Kelahiran Sunan Kalijaga pun menyimpan misteri. Ia diperkirakan lahir pada 1430-an, dihitung dari tahun pernikahan Kalijaga dengan putri Sunan Ampel. Ketika itu Sunan Kalijaga diperkirakan berusia 20-an tahun. Sunan Ampel, yang diyakini lahir pada 1401, ketika menikahkan putrinya dengan Sunan Kalijaga, berusia 50-an tahun.

Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam empat era pemerintahan. Yakni masa Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan Mataram (1580-an). Begitulah yang dinukilkan Babad Tanah Jawi, yang memerikan kedatangan Sunan Kalijaga ke kediaman Panembahan Senopati di Mataram.

Tak lama setelah itu, Sunan Kalijaga wafat. Jika kisah itu benar, Sunan Kalijaga hidup selama sekitar 150-an tahun! Tapi, lepas dari berbagai versi itu, kisah Sunan Kalijaga memang tak pernah padam di kalangan masyarakat pesisir utara Jawa Tengah, hingga Cirebon. Terutama caranya berdakwah, yang dianggap berbeda dengan metode para wali yang lain.

Ia memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat. Misalnya lewat wayang, gamelan, tembang, ukir, dan batik, yang sangat populer pada masa itu. Babad dan serat mencatat Sunan Kalijaga sebagai penggubah beberapa tembang, di antaranya Dandanggula Semarangan –paduan melodi Arab dan Jawa.

Tembang lainnya adalah Ilir-Ilir, meski ada yang menyebutnya karya Sunan Bonang. Lariknya punya tafsir yang sarat dengan dakwah. Misalnya tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar. Ungkapan ijo royo-royo bermakna hijau, lambang Islam. Sedangkan Islam, sebagai agama baru, diamsalkan penganten anyar, alias pengantin baru.

Peninggalan Sunan Kalijaga lainnya adalah gamelan, yang diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan itu kini disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, seiring dengan berpindahnya kekuasan Islam ke Mataram. Pasangan gamelan itu kini dikenal sebagai gamelan Sekaten.

Karya Sunan Kalijaga yang juga menonjol adalah wayang kulit. Ahli sejarah mencatat, wayang yang digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan Kalijaga adalah wayang beber. Wayang jenis ini sebatas kertas yang bergambar kisah pewayangan. Sunan Kalijaga diyakini sebagai penggubah wayang kulit.

Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan disungging di atas kulit lembu. Bentuknya berkembang dan disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan Demak, 1480-an. Cerita dari mulut ke mulut menyebut, Kalijaga juga piawai mendalang. Di wilayah Pajajaran, Sunan Kalijaga lebih dikenal sebagai Ki Dalang Sida Brangti.

Bila sedang mendalang di kawasan Tegal, Sunan Kalijaga bersalin nama menjadi Ki Dalang Bengkok. Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan dakwahnya. Lakon yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Sunan Kalijaga mengangkat kisah-kisah carangan.

Beberapa di antara yang terkenal adalah lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu. Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari kalimat syahadat. Bahkan kebiasan kenduri pun jadi sarana syiarnya.

Sunan Kalijaga mengganti puja-puji dalam sesaji itu dengan doa dan bacaan dari kitab suci Al-Quran. Di awal syiarnya, Kalijaga selalu berkeliling ke pelosok desa. Menurut catatan Prof. Husein Jayadiningrat, Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan, setelah dibaiat sebagai murid Sunan Bonang.

Di Palembang, ia sempat berguru pada Syekh Sutabaris. Cuma, keberadaan Sunan Kalijaga di ”bumi Sriwijaya” itu tidak meninggalkan catatan tertulis. Hanya disebut dalam Babad Cerbon, Sunan Kalijaga tiba di kawasan Cirebon setelah berdakwah dari Palembang. Konon, Kalijaga ingin menyusul Sunan Bonang, yang pergi ke Mekkah.

Tapi, oleh Syekh Maulana Magribi, Kalijaga diperintahkan balik ke Jawa. Babad Cerbon menulis, Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon, persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5 kilometer arah selatan kota. Pada awal kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai pembersih masjid Keraton Kasepuhan.

Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati. Kisah pertemuannya rada-rada aneh. Sunan Gunung Jati sengaja menguji Kalijaga dengan sebongkah emas. Emas itu ditaruh di padasan, tempat orang mengambil wudu. Kalijaga sendiri tak kaget mengingat ajaran Sunan Ampel, ”ojo gumunan lan kagetan” (jangan mudah heran dan terkejut).

Ia ”menyulap” emas menjadi batu bata, dan menjadikannya tempat menaruh bakiak bagi orang yang berwudu. Giliran Sunan Gunung Jati yang takjub. Ia pun ”menganugerahkan” adiknya, Siti Zaenah, untuk diperistri Sunan Kalijaga. Hanya beberapa tahun Sunan Kalijaga dikisahkan menetap di Cirebon.

Dakwahnya berlanjut ke arah timur, lewat pesisir utara sampai ke Kadilangu, Demak. Di sinilah diyakini Sunan Kalijaga menetap lama hingga akhir hayatnya. Kadilangu merupakan tempat Sunan Kalijaga membina kehidupan rumah tangga. Istri yang disebut-sebut hanyalah Dewi Sarah, putri Maulana Ishak.

Pernikahan dengan Dewi Sarah itu membuahkan tiga anak, satu di antaranya Raden Umar Said, yang kelak bergelar Sunan Muria. Sunan Muria dan Sunan Kudus tergolong satu aliran dalam berdakwah dengan Sunan Kalijaga. Metode dakwah aliran Kalijaga itu amat keras ditentang Sunan Ampel, mertuanya, dan Sunan Drajat, kakak iparnya.

Hingga kini para pengikut ajaran Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Kudus dikenal dengan sebutan kelompok ”Islam abangan”. Julukan ini hingga kini melekat pada masyarakat di sepanjang pesisir utara, dari Demak, Semarang, Tegal, hingga Cirebon. Selain dakwah dengan kontak budaya, kisah spektakuler lainnya adalah pendirian Masjid Agung Demak.

Babad Demak menyebutkan, masjid itu berdiri pada 1477, berdasarkan candrasengkala ”Lawang Trus Gunaning Janma” –bermakna angka 1399 tahun Saka. Kisah pendirian Masjid Agung Demak sendiri banyak bercampur dengan dongeng. Masih belum jelas, benarkah




Sunan Kalijaga yang hidup di jaman Kerajaan Islam Demak (sekitar abad 15) aslinya bernama Raden Said, adalah putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta/Raden Sahur. Raden Sahur adalah keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu. Sunan Kalijaga diperkenalkan agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban sejak kecil.


Melihat lingkungan sekitar yang kontradiktif dengan kehidupan rakyat jelata yang serba kekurangan, menyebabkan ia bertanya kepada Ayahnya mengenai hal tersebut, yang dijawab bahwa itu adalah untuk kepentingan kerajaan Majapahit yang membutuhkan dana banyak untuk menghadapi pemberontakan. Maka secara diam-diam ia bergaul dengan rakyat jelata, menjadi pencuri untuk mengambil sebagian barang-barang di gudang dan membagikan kepada rakyat yang membutuhkan.
 
Namun akhirnya ia ketahuan dan dihukum cambuk 200 (dua ratus) kali ditangannya dan disekap beberapa hari oleh Ayahnya, yang kemudian ia pergi tanpa pamit. Mencuri atau merampok dengan topeng ia lakukan, demi rakyat jelata. Tapi ia tertangkap lagi, yang menyebabkan ia diusir oleh Ayahnya dari Kadipaten. Iapun tinggal di hutan Jatiwangi dan menjadi perampok orang kaya, dan berjuluk Brandal Lokajaya. Suatu waktu ia berjumpa dengan Sunan Bonang, dan dibawa ke Tuban untuk menjadi muridnya, memperdalam agama Islam. Lalu akhirnya ia menjadi pengembara yang menyebarkan agama Islam (sebelumnya sempat menemui kedua orang tuanya), yang dihari tuanya ia tinggal dan meninggal di desa Kadilangu Demak.

Ia dikenal sebagai Mubaligh/Da’i keliling, ulama besar, seorang Wali yang memiliki karisma tersendiri di antara wali-wali yang lain, paling terkenal di berbagai lapisan masyarakat apalagi kalangan bawah. Ia disebagian tempat juga dikenal bernama Syekh Malaya. Ia dapat dikatakan sebagai ahli budaya, misalnya: pengenalan agama secara luwes tanpa menghilangkan adat-istiadat/kesenian daerah (adat lama yang ia beri warna Islami), menciptakan baju Taqwa (lalu disempurnakan oleh Sultan Agung dengan destar nyamping dan keris serta rangkaian lainnya), menciptakan tembang Dandanggula dan Dandanggula Semarangan, menciptakan lagu Lir Ilir yang sampai saat ini masih akrab dikalangan sebagian besar orang Jawa, pencipta seni ukir bermotif daun-daunan, memerintahkan sang murid bernama Sunan Bayat untuk membuat bedug di Masjid guna mengerjakan sholat jama’ah.
 
Acara ritual berupa Gerebeg Maulud yang asalnya dari tabligh/pengajian akbar yang diselenggarakan para Wali di Masjid Demak untuk memperingati maulud nabi, menciptakan Gong Sekaten bernama asli Gong Syahadatain (dua kalimah syahadat) yang jika dipukul akan berbunyi dan bermakana bahwa mumpung masih hidup agar berkumpul masuk agama Islam, pencipta Wayang Kulit diatas kulit kambing, sebagai Dalang (dari kata dalla’ yang berarti menunjukkan jalan yang benar) wayang kulit dengan beberapa cerita yang ia senangi yaitu antara lain Jimat Kalimasada dan Dewa Ruci serta Petruk Jadi Raja dan Wahyu Widayat, serta sebagai ahli tata kota seperti misalnya pengaturan Istana atau Kabupaten dengan Alun-alun serta pohon beringin dan masjid.

Sebagai penutup, kami tuliskan teks tembang Lir Ilir, sebagai berikut : Lir ilir lir ilir tandure wis sumilir, Tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar, Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi, Lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dodotiro-dodotiro, Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir, Domono jlumotono kanggo seba mengko sore, Mumpung jembar kalangane mumpung padhang rembulane, Yo surako surak horee.

Suka atau tidak suka, pada kenyataannya Sunan Kalijaga dapat dikatakan sebagai gurunya atau dewanya Islam bagi besar orang sebagian Jawa.




SUNAN KALIJAGA,WALI YANG ORISINAL :

WALISANGA, ZIARAH PUSTAKA 1

           
Kadilangu terletak tak jauh dari Demak di Jawa Tengah. Kalau Anda datang dari arah Semarang, sebelum sampai di Demak bisa mampir ke Kadilangu dahulu. Udara biasanya panas, tetapi orang-orang yang mengalir tanpa putus wajahnya begitu tulus – dan ketulusan itulah yang memberi perasaan damai. Memang, di sanalah terletak makam yang dalam tesis Sumanto Al Qurtuby, Arus Cina-Islam Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI (2003) disebutkan sebagai “paling dikeramatkan di Jawa Tengah”, yakni makam Sunan Kalijaga.

Nama ini terdengar begitu akrab, tetapi lebih akrab lagi adalah karya-karyanya sebagai pendakwah kreatif, yang sering dimanfaatkan tanpa disadari lagi sebagai gubahan Sunan Kalijaga. Seperti terjadi dengan kidung Rumeksa Ing Wengi, yang disamping berfungsi sebagai kidung tolak bala, jika dibawakan Nyi Bei Madusari juga terdengar indah sekali. Perhatikan:

Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh
Jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani
Miwah panggawe ala
Gunaning wong luput
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah ing mami
Guna duduk pan sirna.

Ada kidung melindungi di malam hari
Penyebab kuat terhindar dari segala kesakitan
Terhindar dari segala petaka
Jin dan setan pun tidak mau
Segala jenis sihir tidak berani
Apalagi perbuatan jahat
Guna-guna dari orang tersingkir
Api menjadi air
Pencuri pun menjauh dariku
Segala bahaya akan lenyap.
 
Kidung ini disusun dalam sastra macapat yang ditulis dalam metrum dhandhanggula. Sebuah ulasan dalam buku best seller yang ditulis seorang sarjana agronomi, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga (2003) karya Achmad Chodjim, dengan memikat telah menghadirkan makna kidung yang juga bisa berarti sabda atau firman, sebagai teknik membangkitkan konsentrasi dan kekuatan pikiran. Menurut Chodjim, kata-kata yang tertata rapi di dalam sebuah doa, sebenarnya untuk menjadi titik perhatian dan tujuan dari pelafal doa. Titik perhatian inilah yang akan membangkitkan konsentrasi dan dengan itu menjelmakan kekuatan pikiran. Mengacu kepada Michael Talbot dalam Mysticism and The New Physics: Beyond Space-Time, Beyond God, To The Ultimate Cosmic Consciousness (1981), Chodjim memaparkan bahwa kekuatan pikiran dapat menghasilkan sebuah medan biogravitasi (gravitasi makhluk hidup) yang dapat berinteraksi dengan dan mengubah medan gravitasi yang mengendalikan materi. Teori ini terbuktikan oleh populernya kidung gubahan Sunan Kalijaga sebagai penolak bala kejahatan yang dilakukan malam hari. Mulai dari kejahatan “masuk akal” seperti pencurian, sampai yang disebut gaib seperti sihir, teluh, santet, yang tentunya dipercaya keberadaannya pada masa kehidupan Sunan Kalijaga.

Chodjim menyampaikan kisah nyata, bahwa kidung ini masih berfungsi di desa pada masa kini demi kebutuhan praktis, misalnya mengusir hama tikus. Dikisahkan bahwa pelafal doa berpuasa 24 jam, makan sahur dan buka tengah malam, lalu kidung Rumeksa ing Wengi ini dibaca sambil mengelilingi pematang sawah atau ladang. Alhasil, tikus benar-benar tidak datang ke sawah tersebut. Perhatikan, bukan tikus mati di mana-mana, melainkan sekadar tidak datang. Menurut Chodjim, doa memang bukan untuk merusak, tetapi menjaga harmoni alam. Disebutkan dengan tegas sebagai doa, bukan sihir atau mantra negatif – dan yang disebut doa secara sungguh-sungguh memiliki kesakralan dan kesucian.

Adapun hubungan fakta atas kidung Rumeksa ing Wengi dan reputasi Sunan Kalijaga sebagai pendakwah, agama Islam diperkenalkan Sunan Kalijaga tidak sebagai formalitas yang kaku. Dalam perbincangan bait-bait selanjutnya dari kidung tersebut yang terlalu panjang dikutip di sini, Chodjim menekankan betapa Sunan Kalijaga mementingkan terbangunnya keyakinan dalam beragama daripada hafalan atas doa-doa itu sendiri, dan karena orang Jawa abad XV tidak mudah mengucapkan apalagi memahami bahasa Arab, dalam memperkenalkan orang Jawa terhadap keindahan dan kebesaran beragama, Sunan Kalijaga mengacu alam pikiran Jawa masa itu.

Dalam disertasi yang ditulis seorang pemuda 29 tahun pada 1935, Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, disebutkan bahwa di antara para wali, ajaran Sunan Kalijaga adalah “yang paling orisinil.” Pemuda itu, P.J.Zoetmulder, yang kelak terkenal sebagai mahapakar Jawa Kuno, mengambil kesimpulannya antara lain setelah memeriksa Serat Wirid yang ditulis Ranggawarsita, yang berisi ajaran-ajaran para tokoh yang secara bersama disebut sebagai Walisanga, para pendakwah yang menyebarkan Islam di tanah Jawa pada abad XV.

Seperti apakah ujudnya orisinalitas itu, dan mengapa orisinalitas harus dianggap penting? Rupa-rupanya, dalam penyebaran agama Islam, kecenderungan Sunan Kalijaga untuk peduli kepada konteks lokal di tempat ia berdakwah sangat dimaknai sampai hari ini. Namun sebelum sampai ke sana, mungkin baik kita ikuti kembali “sastra lisan” tentang proses kewalian Sunan Kalijaga, yang jangan dicari kefaktaannya melainkan makna yang berada di balik kisah itu. Historiografi Jawa sulit dibaca seperti membaca buku sejarah modern -karena itu harus selalu diterima sebagai materi untuk ditafsirkan kembali. 

Episode brandal
Ada sebuah episode dalam kehidupan Sunan Kalijaga, yang boleh kita sebut sebagai episode Brandal Lokajaya. Memang, sebelum mendapat pencerahan dan disebut Sunan Kalijaga, disebutkan bahwa ia bernama Raden Syahid, putra Adipati Tuban, yakni Tumenggung Wilatikta yang juga disebut Aria Teja IV, seorang keturunan Ranggalawe. Dipandang secara politis, penyebutan Ranggalawe ini bukanlah hubungan, melainkan “penghubungan” dengan Majapahit, demi legitimasi kekuasaan Mataram kelak -seolah-olah Sunan Kalijaga menjadi penghubung dan sekaligus pengukuh kesinambungan Majapahit-Demak-Mataram.

Sebagai Raden Syahid, disebutkan betapa pemuda ini sudah sangat kritis terhadap kemiskinan di sekitarnya dalam kekuasaan Majapahit, sehingga ia bertindak sebagai “maling budiman”, yakni merampok orang kaya yang korup, dengan cara mencegatnya di dalam hutan dan hasilnya dibagikan kepada orang-orang miskin. Mohon dicatat juga terdapatnya versi lain, seperti yang dikutip Nacy K. Florida dari Babad Jaka Tingkir untuk disertasinya Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang (1995), bahwa Raden Syahid merampok bukan karena ia seorang maling budiman, melainkan karena betul-betul bejat. Dalam kedua versi, Raden Syahid bertemu batunya ketika mencegat seorang tua yang tidak diketahuinya adalah Sunan Bonang, seorang wali kutub tingkat pertama.

Seperti biasa, ia bermaksud membegal Sunan Bonang, terutama tongkatnya yang dalam pandangannya berlapis emas -tetapi ketika berhasil merebutnya, ternyata hanya terbuat dari kuningan, maka lantas dikembalikan. Sunan Bonang berkata jangan menganggap remeh yang tampaknya sederhana, dan ia perlihatkan betapa tongkat itu mampu mengubah buah aren menjadi emas. Dengan bernafsu, Raden Syahid memanjat untuk mengambil buah-buah emas itu, yang ternyata berubah menjadi buah hijau kembali – saat itulah Raden Syahid menyadari kerendahan derajat hidupnya. Ia lantas menyatakan ingin berguru kepada Sunan Bonang, bukan untuk bisa mengubah buah menjadi emas, melainkan untuk belajar “ilmu-ilmu”.

Sunan Bonang lantas menancapkan tongkatnya di tanah, dan meminta Raden Syahid tafakur di sana sambil menjaga tongkatnya itu, sebelum akhirnya berlalu untuk membantu Raden Patah membangun kerajaan Demak. Peristiwa itu berlangsung di tepi sungai, dan dari ketafakurannya selama bertahun-tahun di sana Raden Syahid mendapat nama sebutannya, Sunan Kalijaga. Alkisah selama tafakur Raden Syahid berhasil menghayati arti kehidupan, dan ketika Sunan Bonang kemudian menemuinya kembali (sangat terkenal ilustrasi tentang akar-akaran yang sudah meliputi seluruh tubuh Raden Syahid) segeralah ia diberi pelajaran, yang isinya bisa dirujuk dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga yang ditulis Iman Anom pada 1884, dan telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Balai Pustaka pada 1993. Dalam “suluk linglung” itu juga dikisahkan pertemuan Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir di tengah samudera ketika akan beribadah haji ke Mekah, yang sangat mirip dengan cerita wayang Dewaruci, bahwa untuk mendapatkan pencerahan seseorang cukup memasuki dirinya sendiri, yang dalam dirinya merupakan alam luas tak berbatas.

Kisah ini, dengan berbagai perbedaan versi yang tidak mengubah alur, sangat terkenal, dan merupakan “sejarah” paling pokok dari pembangunan karakter Sunan Kalijaga: yakni bahwa selalu ada segi-segi “kebadungan” dalam diri Sunan Kalijaga – justru sesuatu yang sangat penting dalam kelanjutan sejarah penyebaran Islam di Jawa, seperti terlihat dari perdebatannya dengan para wali lain untuk mempertahankan warisan tradisi Hindu-Buddha dalam kesenian sebagai sarana berdakwah, yang tentu tidak begitu saja bisa segera diterima oleh para sunan yang sangat teguh dalam syariat agama.

Dalam kompromi dengan para wali lain itulah, Sunan Kalijaga dengan kreatifnya mengubah boneka wayang kulit yang semula tiga dimensi menjadi pipih dua dimensi (supaya tidak seperti patung, yang di Saudi Arabia masa itu tentu identik dengan berhala), serta memanfaatkan segala sarana pertunjukannya seperti layar yang putih dan kosong, blencong, bayangbayang, posisi penonton di depan atau di belakang layar, dan wayang kulit itu sendiri untuk berfilsafat dan berdakwah, menyampaikan ajaran agama Islam dengan cara yang dipahami dan disukai oleh masyarakat Jawa. Bukankah pertanyaan sederhana seperti, “Kalau wayang digerakkan oleh dalang lantas siapa yang menggerakkan dalang?”, akan sangat mudah mengundang renungan atas kekuasaan Tuhan? Orisinalitas dalam pemikiran Sunan Kalijaga untuk mempertahankan lokalitas jelas merupakan kontribusi penting bagi kemandirian identitas budaya Islam di Jawa, dulu maupun sekarang.

Saka Tatal & Jung Cina
Peristiwa penting lain dalam riwayat Sunan Kalijaga terlihat dari kasus saka tatal yang terkenal. Diriwayatkan bahwa para wali bergotong royong membangun Mesjid Demak, dan Sunan Kalijaga mendapat bagian mendirikan salah satu dari empat tiang utama Mesjid. Entah kenapa, Sunan Kalijaga sudah sangat terlambat ketika memulai pekerjaannya, sehingga dengan “kesaktian”-nya ia terpaksa menggantikan balok kayu besar itu dengan potongan-potongan balok kecil, yang disebut tatal – dan ternyata tiang yang tampaknya darurat itu mampu menyangga atap mesjid, sama kuat dengan tiang-tiang utama lain, meski sekarang tentunya sudah direnovasi. Dalam tradisi lisan Jawa, saka tatal itu adalah bukti kedigdayaan Sunan Kalijaga, tetapi bagi penelitian ilmiah, soalnya ternyata menjadi lain.

Dalam buku Qurtuby yang sudah disebutkan, tesis yang meneliti peranan Tionghoa dalam penyebaran Islam di Indonesia, disebutkan bahwa teknik perakitan yang digunakan Sunan Kalijaga untuk menyangga atap mesjid dengan himpunan tatal itu sama dengan cara penyambungan potongan kayu untuk tiang kapal jung Cina. Sehubungan dengan tujuan penelitiannya, timbul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut: Apakah Sunan Kalijaga memintabantuan tukang-tukang asal Tiongkok, yang tentunya terdapat dalam masyarakat Tionghoa yang telah bermukim sepanjang Pantai Utara di Jawa; apakah Sunan Kalijaga, sebagai wali yang kreatif dan menghayati hadits “tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina”, telah mempelajari teknik itu dari orang-orang Tionghoa; dan yang paling rawan adalah, apakah Sunan Kalijaga sendiri adalah seorang keturunan Tionghoa?

Semua ini baru pertanyaan. Sejumlah buku sejarah yang kurang teliti, antara lain oleh seja-rawan kenamaan Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Djawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (1968), dengan yakin pernah menyebutkan nama lain Sunan Kalijaga sebagai Gan Si Cang. Sumber Muljana adalah buku M.O. Parlindungan berjudul Tuanku Rao (1964), dan sumber Parlindungan adalah Malay Annal (Catatan Tahunan Melayu) yang terdapat dalam penelitian pakar kenamaan Belanda, H.J. de Graaf dan Pigeaud, tetapi yang tidak satu sejarawan pun sebelumnya, dalam hal Sunan Kalijaga, berani memastikannya.

Kita tidak punya ruang untuk berkisah tentang Gan Si Cang yang “terhubungkan” dengan Sunan Kalijaga, sehingga menimbulkan kerancuan, tetapi bisa melihat apa pendapat Qurtuby sebagai peneliti mutakhir: “Mungkinkah cerita kesaktian Sunan Kalijaga di atas sebetulnya hanyalah narasi masyarakat tradisional atas keahlian teknologi perkapalan yang dimiliki sang sunan? Atau Gan Si Cang sebetulnya hanyalah “tokoh khayalan” yang sengaja diciptakan peng-gubah teks Malay Annals untuk menyamarkan figur Sunan Kalijaga?” Qurtuby berpendapat “agak susah” untuk mengidentifikasikan Gan Si Cang dengan Sunan Kalijaga, karena tradisi lokal tak secuilpun memunculkan kecinaan Sunan Kalijaga; namun kiranya pendapat Qurtuby berikut sangat menarik: “Kalaupun Gan Si Cang adalah ‘tokoh historis’, kemungkinan ia adalah nama lain bukan Sunan Kalijaga yang bisa saja pada waktu itu dimanfaatkan keahliannya oleh penguasa Demak untuk turut serta membangun mesjid.”

Sementara itu, dalam pemeriksaan Florida atas Babad Jaka Tingkir sebagai bagian disertasinya, kita akan menemukan ulasan menarik atas peranan tokoh Sunan Kalijaga, ketika pembangunan Mesjid Demak sampai kepada saat harus menentukan arah kiblat. Dalam babad ini terdapat adegan perdebatan para wali tentang arah kiblat. Nancy Florida, yang meneliti budaya Jawa selama 25 tahun sebelum sampai penulisan disertasi ini, menafsirkannya secara politis sebagai “penawaran”, bahkan kadang disebut juga “perlawanan” Muslim Jawa terhadap hegemoni “Islam pusat” di Mekah masalahnya, bukankah tidak mungkin menghadapkan arah kiblat tidak ke Ka’bah? Disebutkan, Sunan Kalijaga diberi tugas menangani masalah ini, agar kiblat tetap seperti seharusnya, tanpa memberi posisi Muslim Jawa “tunduk” kepada suatu kekuasaan duniawi di manapun, meski tetap tunduk menyerahkan diri kepada Tuhan, karena Islam memang berarti penyerahan diri.

Maka Sunan Kalijaga mengambil langkah berikut, seperti dibahasakan oleh Florida sendiri dalam menganalisis Babad Jaka Tingkir. “Sunan Kalijaga merampungkan proses lokalisasi ini. Berkat penanganan ajaibnya, sang Mesjid akhirnya menurut bersepakat dengan Ka’bah Mekah, dan pada saat yang sama Ka’bah pun menurut bersepakat dengan Mesjid Demak. Tindakan Kalijaga adalah suatu hal yang radikal:


Tangan kanan memegang Ka’bah Allah /Tangan kiri memegang /Balok puncak Mesjid itu /Ditariklah keduanya / Telah terulur diadu terantuk / Atap Ka’bah dan balok puncak Mesjid / Dinyatakan sewujud / Sempurna segaris tiada melenceng.


“Dengan tindakan berganda ini, keduanya dinyatakan dan dibuktikan sebagai keberadaan atau substansi yang satu. Kenyataan satu-yang-adalah-dua itu yang menyatakan pemapanan kiblat diwujudkan dengan kesegarisan dalam keterhubungan antara struktur Demak dan Mekah yang di dalamnya struktur Mekah (meskipun jelas lebih tua) tidaklah memiliki dominasi yang mutlak. Kesepakatan diraih berkat penanganan sang wali merdeka Kalijaga menghasilkan perwujudan Mesjid Demak sebagai pusat – salah satu pusat di dalam dunia Islam yang tidak mengakui kekuasaan duniawi mana pun sebagai mutlak. Tindakan berganda yang membuka peluang untuk penyebaran berbagai-bagai pusat ini justru berhasil, karena tindakan ini merupakan perlawanan terhadap “keterpinggiran” mereka yang memang ada di pinggir.”

Tentu saja kita tidak bisa mengandaikan bahwa Sunan Kalijaga dalam babad tersebut adalah Sunan Kalijaga historis, yang dari darah dan daging, tetapi bukankah justru tugas penelitian sejarah tidak sekadar memisahkan antara yang mitos dan fakta, melainkan juga menafsirkan mitos demi pemahaman sejarah secara menyeluruh? Setidaknya kita mendapatkan informasi dari babad tersebut, bagaimana masyarakat Jawa memandang Sunan Kalijaga: kreatif dan merdeka.

Lir-ilir, lir-ilir

Makam Sunan Kalijaga kini berada di dalam “rumah” kokoh dengan ukiran Jepara terbaik di pintu, jendela, maupun tiang-tiangnya. Bisa dibayangkan betapa masa lalu, ketika Sunan Kalijaga bermukim dan mengajar di sana, tempat itu tentu jauh lebih sunyi daripada sekarang. Tanpa listrik tentu, dan tanpa suara bising dari jalan raya antarkota. Namun meski dahulu kala Kadilangu adalah desa yang sunyi, bisa dibayangkan terdapatnya keceriaan yang melingkupinya, berkat wibawa dan kegairahan seorang wali pecinta kesenian, yang selalu siap dan terbuka terhadap perubahan. Sehingga, meski antara pemakaman yang wingit dan pasar cinderamata di luarnya tampak seolah-olah tidak cocok, jika masyarakat di sekitarnya tidak keberatan, maka Sunan Kalijaga pun kiranya bisa dibayangkan tidak akan terlalu keberatan.

Catatan ini ingin menekankan, bahwa “ziarah pustaka” bisa membuat pemikiran kita jadi produktif, sebagai alternatif “ziarah kuburan” yang sebenarnya, meski “penghayatan lingkungan” bukannya tidak penting – tanpa kita harus jadi sejarawan professional. Maka kita tutup ziarah ini dengan sebuah lagu dolanan gubahan Sunan Kalijaga, yang bukan hanya ceria tapi juga penuh makna, karena sebenarnya membawa sebuah pesan keagamaan yang serius:
Lir-ilir, lir-ilir, tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo, dak sengguh penganten anyar
Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir
Domono jlumatono kanggo seba mengko sore
Mumpung jembar kalangane, mumpung padhang rembulane
Ya surak-a surak horeeee!

Sumber: INTISARI, Okteber 2005



 
 


Tiada ulasan:

Catat Ulasan