Assalamu'alaikum,
Di dalam kubah makam Sultan Mahmud Badaruddin I terdapat 5 orang Lainnya, dan salah satunya adalah Al-Habib Abdullah bin Idrus Al-Aidarus yang merupakan Imam kubur dari Sultan Mahmud Badaruddin I. Pemakaman Sultan Mahmud Badaruuddin I terletak di Pemakaman Kawah Tengkurep.
[sunting]
[sunting]
Bahan tentang Sultan Mahmud Badaruddin 1 tidak banyak di internet seperti cicitnya Sultan Mahmud Badaruddin II. Kalau baca sejarah Palembang Darussalam ini, anda akan belajar bagaimana saudara-mara Sultan (adik Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai contoh) mengadakan sabotaj untuk menduduki takhta dengan bantuan Inggeris. Sabotaj, perpecahan, keghairahan menaiki takhta dan pelbagai sebab merupakan antara faktor Kesultanan Melayu mengalami kejatuhan dan 'dijajah' orang Barat.
Hamba mengambil masa yang lama di kawasan pemakaman Sultan Muhammad Bahauddin. Kemudian terfikir, ada kubah hijau dari luar yang menempatkan Makam Sultan Mahmud Badaruddin 1, dan ini bukan bangunannya. Hamba keluar dan terus mencari di luar dan akhirnya baru terjumpa Makam Sultan Mahmud Badaruddin 1 di bawah kubah hijau. Kemudian terlihat pintunya berkunci. Takpalah, hamba ziarah dari luar saja, bisik hati. Nampak juga makamnya. Setelah menghabiskan beberapa amalan semasa ziarah makam, hamba pun keluar dari kawasan makam. Nak pergi jumpa pemandu ojet hamba kerana dah lebih 20 minit hamba di sini. Semasa hamba keluar, juru kunci Makam Sultan Mahmud Badaruddin I menyapa hamba dan bertanya hamba sama ada hamba mahu menziarahi makam. Alhamdulillah, 'perbuatan Allah Taala' mengizinkan hamba masuk ke dalam kawasan makam. Kekadang kata orang, kalau 'kita dijemput', maka akan dipermudahkan Allah Taala untuk kita ziarah. Wallahu'alam.
Banyak sejarah yang diceritakan oleh jurukunci tersebut tentang guru Sultan, isteri-isterinya. Yang hamba ingat adalah salah seorang isterinya dari Kesultanan Melayu Kelantan. Maknanya perhubungan antara Kesultanan Melayu di Nusantara telah lama berlangsung. Sultan Mahmud Badaruddin I terkanal kerana kewarakannya, juga terkenal sebagai seorang Wali Allah. Masjid yang dibinanya di ibukota masih tetap utuh sehingga hari ini (Hamba tak sempat ziarah). Al-Fatihah untuk Sultan Mahmud Badaruddin 1.
Pintu Makam
Makam Sultan Mahmud Badaruddin 1
Makam salah seorang isterinya
Di dalam kubah makam Sultan Mahmud Badaruddin I terdapat 5 orang Lainnya, dan salah satunya adalah Al-Habib Abdullah bin Idrus Al-Aidarus yang merupakan Imam kubur dari Sultan Mahmud Badaruddin I. Pemakaman Sultan Mahmud Badaruuddin I terletak di Pemakaman Kawah Tengkurep.
sumber: http://infokito.wordpress.com/2007/11/05/masa-pemerintahan-sultan-mahmud-badaruddin-ii/
Masa Pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II
Posted by infokito™ pada 5 November 2007
Masa Pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II
triyono-infokito
triyono-infokito
Kesultanan Palembang mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II. Di dalam melawan penjajahan Belanda dan Inggris, Sultan Mahmud Baruddin II berhasil mengatasi politik diplomasi dan peperangan kedua bangsa tersebut. Sebelum jatuhnya Palembang dalam peperangan besar di tahun 1821, Sultan Mahmud Badaruddin II secara beruntun pada tahun 1819 telah dua kali mengahajar pasukan pasukan Belanda keluar dari perairan Palembang. Keperkasaan Sultan Mahmud Badaruddin II ini dinilai oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah wajar untuk dianugrahi sebagai Pahlawan Nasional.
Ada beberapa catatan sejarah yang terjadi di masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II.
» Peristiwa Loji Sungai Aur (1811)
Hubungan perdagangan antara Belanda/VOC dengan Palembang sudah terjalin sejak permulaan abad ke-17, terutama menyangkut komoditi lada dan timah. Pada permulaan abad ke-19 terjadi perebutan kekuasaan di Nusantara antara Inggris dan Belanda. Peristiwa ini adalah dalam rangka perang yang terjadi di Eropa antara Inggris dan Perancis semasa kekuasaan Napoleon Bonaparte.
Negeri Belanda menjadi bagian dari Perancis yaitu Bataafse Republik, oleh karena itu milik Belanda yang ada di Nusantara pun direbut oleh Inggris. Terjadi penyerbuan tentara Inggris yang berpangkalan di Malaka dan Penang ke Batavia/Jawa pada bulan Agustus 1811, kemudian penyerahan kekuasaan Belanda kepada Inggris tanggal 18-9-1811 di desa Tuntang, Jawa Tengah. Mengetahui hilangnya kekuasaan Belanda setelah penyerbuan ke Batavia bulan Agustus 1811 tersebut, pada tanggal 14 September 1811 Sultan Mahmud Badaruddin II meminta Residen Belanda beserta pasukannya meninggalkan loji. la mula-mula menolaknya, kemudian 87 orang digiring naik ke kapal pada hari itu, rupanya mereka mengadakan perlawanan, oleh karena itu sampai di muara Sungsang mereka dibunuh semuanya dan kapal ditenggelamkan. Peristiwa ini dikenal dengan “penyembelihan massal” (Palembang Massacre). Belanda menuding Raffles (Penguasa Inggris di Indonesia) sebagai biang keladinya karena menghasut Sultan melakukan itu, tetapi Raffles menolaknya dan menuduh Mahmud Badaruddin II yang bertanggung jawab mengenai hal ini.
Seminggu setelah pengusiran Belanda dari loji sungai Aur, maka loji tersebut dibakar habis serta dibongkar sampai fondasinya. Rupanya Sultan tidak ingin melihat adanya monumen Belanda yang masih tersisa meskipun hanya puing-puingnya.
» Penyerbuan Inggris ke Palembang tahun 1812
Hubungan Sultan Mahmud Badaruddin II dengan Raffles cukup baik sebelum takluknya Belanda dari Inggris. Tindakan Sultan yang menolak pembicaraan menyangkut timah Bangka dan tidak memberi kesempatan meninjau loji sungai Aur yang telah rata dengan tanah, dan pembunuhan orang-orang Belanda yang dianggap tak bermoral, merupakan alasan Raffles (penguasa Inggris di Indonesia) untuk mengirim sebuah ekspedisi militer di bawah Mayor Jendral Gillespie dari Batavia tanggal 20 Maret 1812.
Sultan dengan pasukannya telah bersiap-siap menyambut ekspedisi tersebut dengan memperkuat kubu-kubu pertahanannya di sepanjang sungai Musi, dengan kubu-kubu meriam terapung, perahu-perahu bersenjata, rakit-rakit berisi bahan yang mudah terbakar untuk menghambat kedatangan armada Inggris serta di pusat pertahanannya di keraton (sekarang Benteng) dengan 242 pucuk meriam siap menghadapi musuh.
Tetapi karena pengkhianatan adiknya sendiri (Pangeran Adipati Najamuddin = Husin Dhiauddin) dan lebih unggulnya persenjataan musuh maka dalam waktu seminggu Palembang jatuh (24 April 1812). Sultan Mahmud Badaruddin II menyingkir ke pedalaman dengan membawa segala perlengkapan kerajaan dan hartanya. Gillespie menduduki kraton pada 25 April 1812 dan keesokan harinya bendera Inggris dikibarkan didalam Kraton. Adik Sultan (Najamuddin II) dinobatkan oleh Inggris dan harus menandatangani perjanjian pada 12 Mei 1812 yang isinya antara lain penyerahan Bangka dan Belitung kepada Inggris. Kapten Meares yang diangkat sebagai Residen Inggris ditugaskan mengejar Sultan Mahmud Badaruddin II dan terjadi pertempuran di Bailangudengan kekalahan pihak Inggris, Meares tertembak dan akhirnya meninggal. Untuk mempertahankan posisinya Sultan mendirikan kubu-kubu pertahanan diMuara Rawas dan daerah-daerah pedalaman dengan demikian Sultan tidak dapat ditaklukkan.
Pengganti Kapten Meares yaitu Mayor Robison yang bertugas di Palembang mulai 13 Februari 1813. Ia rupanya agak kurang sependapat dengan kebijaksanaan Raffles, dan mengadakan perundingan dengan utusan S.M.B. II karena melihat beberapa pertimbangan sebagai berikut: Ketidak becusan Najamuddin II dan ketidak kepastian bantuan darinya, serta rakyat Palembang masih menghendaki kembalinya S.M.B. II (yang berakibat negeri Palembang dalam keadaan anarki).
Perjanjian Muara Rawas pun dibuat pada 29 Juni 1813, yang menyatakan S.M.B. II dapat kembali ke Palembang dengan imbalan 200.000 dollar kepada pemerintah Inggris. Tanggal 13 Juli 1813 S.M.B. II kembali ke Palembang dan duduklah dia sebagai Sultan yang berdaulat. Tindakan Robison ini tentu saja tidak disetujui Raffles karena mengangkat kembali Sultan yang sudah dipecat Raffles.
Raffles mengirimkan sebuah komisi yang dipimpin Kapten George Elliot disertai pengganti Robison, M.H.Court, serta Mayor W.Colebrooke dan Letkol Mc.Gregor yang membawa 400 pasukan Eropa, yang mulai berangkat pada 7 Agustus 1813. Robison diberitahu bahwa segala tindakannya tidak dapat diterima dan ia dipecat kemudian ditahan. (Kemudian hari setelah ia bebas, ia mengadukan kepada penguasa Inggris di India dan di Inggris mengenai tindakan-tindakan Raffles yang tercela).
Komisi tersebut memecat S.M.B. II setelah hanya sebulan bertahta dan mengangkat kembali Ahmad Najamuddin sebagai Sultan Palembang. Perdamaian antara Inggris dan Perancis di Eropa setelah jatuhnya Napoleon mempengaruhi politik di Nusantara. Perjanjian London 13 Agustus 1814 menetapkan bahwa Inggris harus menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan yang didudukinya sejak 1803.
Kebijaksanaan pemerintah Inggris ini kurang dapat tanggapan yang baik dari Raffles. Baru kemudian pada 29 Juni 1817 koloni Belanda di Nusantara dikembalikan setelah Raffles digantikan John Fendall. Raffles menetap di Bengkulu sebagai Residen Inggris. Komisaris (Residen) Belanda di Palembang ditunjuk Mutinghe.
» Perang Palembang I (1819)
Setelah kembalinya Belanda di Palembang, Mutinghe menonaktifkan Najamuddin II (Husin Dhiauddin) dan mengangkat kembali S.M.B. II. Husin Dhiauddin tidak senang dengan perlakuan ini dan mengadu kepada Raffles di Bengkulu. Raffles mengirimkan ekspedisi kira-kira 300 tentaranya ke Palembang melalui jalan darat.
Terjadi insiden di Palembang, namun tentara pelopor Inggris yang ada di Palembang diusir oleh tentara Belanda, dikembalikan lewat laut ke Bengkulu. Selanjutnya Mutinghe memburu sisa tentara Inggris di Muara Beliti dan terjadi pertempuran di sana yang berakhir dengan perdamaian. Dengan adanya insiden ini maka Dhiauddin diasingkan ke Betawi dan Cianjur beserta para keluarganya.
Ketika Mutinghe kembali ke kota, ia diserang oleh pengikut-pengikut Badaruddin II, sehingga ia cepat-cepat mundur ke Palembang. Mutinghe menuduh Badaruddin II bertanggung jawab atas serangan pengikut-pengikutnya di pedalaman. Setelah mendaratkan tambahan 209 pasukan Belanda dari Jakarta, Mutinghe mengultimatum Badaruddin II untuk menyerahkan putra sulungnya sebagai jaminan. Hal ini menyebabkan kemarahan Badaruddin II.
Terjadi pertempuran tanggal 11 – 15 Juni 1819 (istilah Palembang “Perang Menteng”) antara pasukan Sultan Mahmud Badaruddin II yang bertahan di Kraton (Benteng) dan pasukan Belanda di Kraton Lama dan di beberapa kapal perang. Pasukan Mutinghe dapat dihancurkan, dari semula 500 orang pasukan tinggal 350, Mutinghe bersama sisa pasukan ini lari ke Batavia.
» Perang Palembang II (1819)
Kekalahan Belanda bulan Juni 1819 tersebut sangat menyakitkan Belanda. Gubernur Jendral Van der Capellen bersama Panglima Angkatan LautLaksamana Wolterbeek dan Panglima Angkatan Darat Mayjen De Kock merencanakan penyerbuan kembali ke Palembang. Dengan kira-kira 20 kapal perang dan 1500 tentara, pasukan Belanda berangkat dari Batavia (Jakarta) tanggal 22 Agustus 1819. Pada tanggal 30 Agustus 1819 mereka tiba di Mentok, di Bangka sebagian pasukan ini membantu memerangi perjuangan rakyat Bangka, dengan korban cukup banyak.
Jika waktu penyerbuan Inggris tahun 1812 konsentrasi kekuatan Palembang dipusatkan di pulau Borang dan Pulau Salah Nama, tetapi dengan pengalaman pahit menghadapi Inggris tersebut maka pusat pertahanan dirubah. Kali ini pertahanan ditempatkan sepanjang sungai Musi dengan penempatan meriam-meriam untuk mengganggu perjalanan armada Belanda. Konsentrasi dipusatkan di sekitar Plaju dan pulau Kembaro (Pulau Kemaro) dengan beberapa benteng yang diperlengkapi dengan ratusan meriam.
Panglima perangnya adalah Putra mahkota (Pangeran Ratu, kemudian bergelar Najamuddin III). Dalam armada yang menyerbu ke Palembang ini beberapa anggota keluarga Husin Dhiauddin ikut diatas kapal membantu Belanda menunjukkan jalan.
Selanjutnya antara 18 September dan 30 Oktober 1819 terjadi pertempuran sepanjang sungai Musi dan di Palembang dengan hasil pasukan Belanda dipukul mundur dengan korban kira-kira 500 orang, sepertiga dari seluruh kekuatan semula. Dalam pelayaran mundur armada Belanda, tanggal 3 dan 4 November 1819 telah sampai di Sungsang lalu menyebrang ke Mentok.
Ini merupakan kekalahan kedua dari Mutinghe. Dua minggu setelah armada Belanda meninggalkan Bangka ke Batavia, Residen Bangka Smissaertdipenggal kepalanya oleh para pejuang pimpinan Dipati Bahrin dan dipersembahkan kepada Badaruddin II sebagai tanda keberanian dan loyalitas pejuang Bangka.
Kemenangan Palembang dirayakan oleh rakyat dengan luapan kegembiraan. Pada bulan Desember 1819 Pangeran Ratu dinobatkan menjadi Sultan Ahmad Najamuddin III, menggantikan ayahnya. Sedangkan Mahmud Badaruddin II menjadi Susuhunan.
Pasukan dari armada Wolterbeek sesampai di Mentok dibagi tiga, satu bagian yang luka-luka kembali ke Batavia, satu bagian bersama Wolterbeek berlayar ke kepulauan Riau. Satu bagian lagi membantu penumpasan perjuangan rakyat Bangka. Komandan tentara Belanda di Bangka dipimpin Letnan Keer.Pertempuran terbesar antara lain terjadi di Toboali. Para pemimpin di Bangka saat itu antara lain Raden Keling dan Raden Badar. Pertempuran di Bangka baru padam 1821.
» Perang Palembang III (1821)
Kekalahan pada perang-perang sebelumnya, menjadi perhatian serius bagi pihak Kerajaan Belanda dan pemerintah kolonial Belanda di Batavia. Mereka pun membuat suatu perencanaan yang lebih matang untuk menundukkan Palembang. Langkah ditempuh dengan mempersiapkan pasukan yang lebih kuat dansiasat memecah belah kerabat Kesultanan. Alur-alur pelayaran utama dari/ke Palembang diblokade angkatan laut Belanda. Meskipun begitu, jalannya pemerintahan Kesultanan tetap berjalan baik dan rakyat hidup makmur.
Perombakan pimpinan pasukan Kesultanan Palembang dilakukan untuk persiapan perang. Politik memecah belah Belanda terus dijalankan. Sultan Husin Dhiauddin dan keluarganya yang diasingkan ke Jawa dibujuk agar memihak Belanda. Pangeran Syarif Muhammad yang keturunan Arab ditugaskan untuk mempengaruhi orang-orang Arab yang dekat dengan Sultan Mahmmud Badaruddin II agar mengkhianatinya. Demikian juga dengan orang-orang Cina. Beberapa Priyayi Palembang diperalat untuk membocorkan rahasia pertahanan Sultan Mahmud Badaruddin II. Pangeran Akil dari Siak serta Pangeran Prang Wedono dari Mangkunegaran di Jawa Tengah membantu penumpasan perjuangan di Bangka dan penyerbuan ke Palembang.
Tanggal 8 Mei 1821 Ekspedisi penyerbuan ke Palembang dipimpin Mayjen De Kock dilepas Gubernur Jendral Van der Capellen di Batavia dengan upacara kebesaran. Armada berangkat dari Batavia pada 9 Mei 1821. Kekuatan armada lebih dari 100 kapal perang besar/kecil dan personil lebih dari 4000 orang, dipersenjatai lebih dari 400 meriam besar/kecil dan senjata-senjata lain.
Kekuatan pasukan penyerbuan ke Palembang ini jauh lebih besar dari yang sebelumnya. Tanggal 13 Mei 1821 armada berhasil mencapai Mentok dan diperkuat dengan kapal-kapal dan personil yang bertugas memblokade Palembang, bersama-sama masuk ke sungai Musi. Pertempuran-pertempuran hebat berlangsung antara tanggal 22 Mei 1821 sampai 24 Juni 1821 sepanjang sungai Musi sampai Kertapati. Husin Dhiauddin membantu Belanda menujukkan jalan dan beserta keluarganya ikut dalam armada penyerbuan ini yaitu diatas kapal Fregat Jacob Elizabeth.
Berbeda dengan tahun 1819 waktu penyerbuan oleh Laksamana Wolterbeek banyak korban Belanda terjadi karena meriam-meriam maling yang ada sepanjang sungai Musi. Pada penyerbuan kali ini peta lokasi pertahanan Sultan telah diketahui Belanda semua melalui mata-mata orang-orang Palembang sendiri, sehingga Belanda dapat menghindar dari serangan meriam-meriam itu.
Dalam peperangan kali ini meskipun di pihak Belanda juga banyak jatuh korban (lebih dari 300 orang) tetapi pertahanan di Benteng-benteng Palembang akhirnya bobol. Cerucup-cerucup pancang penghalang kapal antara Pulau Kembaro dan Plaju dapat dicabuti semua oleh pihak Belanda, menggunakan peralatan yang khusus didatangkan dari negeri Beianda, sehingga memungkinkan sebagian besar kapal-kapal armada masuk ke tengah Palembang.
Pertahanan Palembang yang terakhir adalah di Benteng Kuto Besak, armada sudah berada di depannya. Tanggal 26 Juni 1821 Jendral De Kock mengirimkan surat kepada Badaruddin II yang isinya agar dia menyerah. Badaruddin menghadapi suatu dilema, yaitu jika bertahan sampai titik darah penghabisan akan terjadi pertempuran yang sangat dahsyat, yang akan mengorbankan seluruh rakyatnya dan keluarganya.
Ternyata dia menunjukkan kebijaksanaanya yaitu menyerahkan kekuasaan Sultan kepada kemenakannya yaitu Prabu Anom putra saudaranya Husin Dhiauddin, menjadi Sultan Ahmad Najamuddin IV. Peritiwa ini terjadi tanggal 29 Juni 1821 dan oleh Husin Dhiahuddin dilaporkan kepada De Kock. [triyono-infokito]
Hadits Nabi, Negeri Samudra dan Palembang Darussalam
Di dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-Raja Pasai, terdapat sebuah hadits yang menyebutkan Rasulullah menyuruh para sahabat untuk berdakwah di suatu tempat bernama Samudra, yang akan terjadi tidak lama lagi di kemudian hari.
“…Pada zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi wassalama tatkala lagi hajat hadhrat yang maha mulia itu, maka sabda ia pada sahabat baginda di Mekkah, demikian sabda baginda Nabi: “Bahwa sepeninggalku ada sebuah negeri di atas angin samudera namanya. Apabila ada didengar khabar negeri itu maka kami suruh engkau (menyediakan) sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa orang dalam negeri (itu) masuk Islam serta mengucapkan dua kalimah syahadat. Syahdan, (lagi) akan dijadikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam negeri itu terbanyak daripada segala Wali Allah jadi dalam negeri itu“….
Kaum sejarawan Melayu memperkirakan negeri samudra yang dimaksud adalah Kerajaan Samudra Pasai (Sumber : Nama Sumatra Telah Dikenal Sejak Zaman Rasulullah, Kedatangan Islam dan Penyebarannya di Indonesia), namun pendapat ini bukan tidak ada kelemahan, hal ini dikarenakan Kerajaan Samudra Pasai baru muncul 600 tahun setelah wafatnya Rasulullah.
Muncul dugaan negeri yang dimaksud adalah sebuah negeri maritim yang dikelilingi samudra, yang mencapai masa ke-emasansekitar 50 tahun setelah wafatnya beliau, yang dikenal dengan nama Sriwijaya.
Sriwijaya dan Dakwah Islam
Terlepas apakah memiliki hubungan dengan keberadaan Hadis Rasulullah maupun tidak, Nusantara (yang merupakan daerah dikelilingi Samudra), telah dijadikan lahan dakwah, di masa ketika Rasulullah masih hidup.
Hal ini bisa dibuktikan dengan ditemukannya nisan Syeikh Rukunuddin di Barus (Fansur), yang diperkirakan merupakan salah seorang sahabat Rasulullah.
Dan ketika negeri maritim, (Sriwijaya) muncul, dakwah Islamiyah semakin di-intensifkan lagi. Salah satu bukti tertulis, adalah ditemukannya surat, yang berisikan korespodensi antara Raja Sriwijaya dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pada sekitar tahun 100H (Sumber : Sriwijaya Pintu Masuk Islam ke Nusantara).
Palembang, Kota Darussalam
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musiantara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan).
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musiantara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan).
Di dalam sejarahnya, Palembang banyak melahirkan Ulama dan Para Wali ALLAH. Telah sama kita pahami, saat berdiri Kerajaan Demak (Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa), yang menjadi sultan pertama adalah putera kelahiran Palembang, yang bernama Raden Fatah (Sumber : Palembang dari nama Cina, menjadi negeri Darussalam).
Selain itu Palembang merupakan daerah yang untuk pertama kalinya diterapkan undang-undang tertulis yang berlandaskan syariat Islam bagi masyarakat Nusantara. Hal tersebut sebagaimana tercantum di dalam kitab Simbur Cahaya, yang disusun oleh Ratu Sinuhun (Sumber : Ratu Sinuhun, Feminis Nusantara dari abad ke-17M).
Di sekitar Palembang, pada sekitar tahun 1650 M (1072 H), di pelopori Syech Nurqodim al Baharudin (Puyang Awak), pernah berkumpul sekitar 50 alim ulama dari berbagai daerah, seperti dari Kerajaan Mataram Islam, Pagaruyung, Malaka dan lain sebagainya, yang menghasilkan beberapa keputusan, diantaranya memunculkan perluasan dakwah Islam di Nusantara (Sumber : Mengapa Nederland disebut Belanda).
Dan di daerah ini juga melahirkan seorang ulama terkemuka Syech Abdul Shomad Al Palimbani (1704-1789), yang merupakan Ulama Melayu yang paling menonjol di abad ke-18M.Melalui karyanya fi Fadha’il Al-Jihad, telah menjadi sumber utama berbagai karya tentang jihad dalam Perang Aceh, selain itu beliau juga diketahui menulis beberapa surat, kepada Para Penguasa di Nusantara, untuk melakukan perang suci terhadap kaum kolonial. (Sumber : Abdus Samad al-Palimbani).
Dan daftar nama akan semakin panjang, apabila Para Ulama dan Wali ALLAH yang berasal dari wilayah lain (di luar Palembang Darussalam) di-ikut sertakan, seperti : Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaka dan lain sebagai-nya (yang dahulunya juga termasuk di dalam Kedatuan Sriwijaya).
Mungkinkah Negeri Samudra, yang dimaksud Rasulullah adalah Sriwijaya, yang berpusat di sekitar Sungai Musi ?
WaLlahu a’lamu bishshawab
Catatan :
1. Ahli Sejarah, biasanya meng-informasikan…
- Rasulullah wafat, sekitar tahun 632 M…
- Sriwijaya berdiri, sekitar tahun 500 M s.d 670 M,
- Samudra Pasai berdiri, sekitar tahun 1267 M…
Sriwijaya yang usianya 600 tahun lebih tua daripada Samudra Pasai, logisnya tentu lebih dahulu memeluk Islam…
Untuk sama dipahami, di wilayah Aceh sebelum Kerajaan Samudra Pasai, kita mengenal keberadaan Kerajaan Jeumpa, dandipesisir Barat pulau Sumatera, kita mengenal Kota Pelabuhan Barus…
Kemungkinan wilayah Jeumpa, Barus dan Sriwijaya merupakan negeri-negeri awal masuknya Islam di Nusantara (silahkan kunjungi : Misteri Pemeluk Islam Pertama di Nusantara)…
Akan tetapi, dari ketiga negeri ini, yang dikenal memiliki wilayah yang cukup luas dan disebut sebagai Nagara Maritim (Samudra) terbesar adalah Kerajaan Sriwijaya…
2. Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 M sesuai dengan catatan I Tsing, sementara dari Prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 M diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa.
Diperkirakan pada sekitar tahun 500 M, akar cikal bakal Kerajaan Sriwijaya sudah mulai berkembang di sekitar wilayah Bukit Siguntang.
Dan masa ke-emasan Sriwijaya, sebagai negara maritim terbesar di Asia Tenggara, terjadi pada abad ke-9 M. Pada masa itu, Sriwijaya telah menguasai di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam dan Filipina.
Sriwijaya juga men-dominasi Selat Malaka dan Selat Sunda, yang menjadikan-nya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal.
|
|
Sultan Mahmud Badaruddin II
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Untuk bandar udara dengan nama yang sama, lihat Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II.
Sultan Mahmud Badaruddin II (l: Palembang, 1767, w: Ternate, 26 September 1852)[1] adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam selama dua periode (1803-1813, 1818-1821), setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803). Nama aslinya sebelum menjadi Sultan adalah Raden Hasan Pangeran Ratu. [2]
Dalam masa pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Inggris dan Belanda, di antaranya yang disebut Perang Menteng. Pada tangga 14 Juli 1821, ketika Belanda berhasil menguasai Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarga ditangkap dan diasingkan ke Ternate.
Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II dan Mata uang rupiah pecahan 10.000-an yang dikeluarkan oleh bank Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2005. Penggunaan gambar SMB II di uang kertas ini sempat menjadi kasus pelanggaran hak cipta, diduga gambar tersebut digunakan tanpa izin pelukisnya, namun kemudian terungkap bahwa gambar ini telah menjadi hak milik panitia penyelenggara lomba lukis wajah SMB II.
Konflik dengan Inggris Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belanda. demi menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa berniat menguasai Palembang. Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditandai dengan penempatan Loji (kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belanda dibangun di Sungai Aur (10 Ulu).
Orang Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) adalah Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles tahu persis tabiat Sultan Palembang ini. Karena itu, Raffles sangat menaruh hormat di samping ada kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada atasannya, Lord Minto, tanggal 15 Desember 1810:
“ | Sultan Palembang adalah salah seorang pangeran Melayu yang terkaya dan benar apa yang dikatakan bahwa gudangnya penuh dengan dollar dan emas yang telah ditimbun oleh para leluhurnya. Saya anggap inilah yang merupakan satu pokok yang penting untuk menghalangi Daendels memanfaatkan pengadaan sumber yang besar tersebut. | ” |
Bersamaan dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal yang sama juga dilakukan Belanda. Dalam hal ini, melalui utusannya, Raffles berusaha membujuk SMB II untuk mengusir Belanda dari Palembang (surat Raffles tanggal 3 Maret 1811).
Dengan bijaksana, SMB II membalas surat Raffles yang intinya mengatakan bahwa Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara Britania dan Belanda, serta tidak ada niatan bekerja sama dengan Belanda. Namun akhirnya terjalin kerja sama Britania-Palembang, di mana pihak Palembang lebih diuntungkan.
Pada tanggal 14 September 1811 terjadi peristiwa pembumihangusan dan pembantaian di loji Sungai Alur. Belanda menuduh Britanialah yang memprovokasi Palembang agar mengusir Belanda. Sebaliknya, Britania cuci tangan, bahkan langsung menuduh SMB II yang berinisiatif melakukannya.
Raffles terpojok dengan peristiwa loji Sungai Aur, tetapi masih berharap dapat berunding dengan SMB II dan mendapatkan Bangka sebagai kompensasi kepada Britania. Harapan Raffles ini tentu saja ditolak SMB II. Akibatnya, Britania mengirimkan armada perangnya di bawah pimpinan Gillespie dengan alasan menghukum SMB II. Dalam sebuah pertempuran singkat, Palembang berhasil dikuasai dan SMB II menyingkir ke Muara Rawas, jauh di hulu Sungai Musi.
Setelah berhasil menduduki Palembang, Britania merasa perlu mengangkat penguasa boneka yang baru. Setelah menandatangani perjanjian dengan syarat-syarat yang menguntungkan Britania, tanggal 14 Mei 1812 Pangeran Adipati (adik kandung SMB II) diangkat menjadi sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin II atau Husin Diauddin. Pulau Bangka berhasil dikuasai dan namanya diganti menjadi Duke of York's Island. Di Mentok, yang kemudian dinamakan Minto, ditempatkan Meares sebagai residen.
Meares berambisi menangkap SMB II yang telah membuat kubu di Muara Rawas. Pada 28 Agustus 1812 ia membawa pasukan dan persenjataan yang diangkut dengan perahu untuk menyerbu Muara Rawas. Dalam sebuah pertempuran di Buay Langu, Meares tertembak dan akhirnya tewas setelah dibawa kembali ke Mentok. Kedudukannya digantikan oleh Mayor Robison.
Belajar dari pengalaman Meares, Robison mau berdamai dengan SMB II. Melalui serangkaian perundingan, SMB II kembali ke Palembang dan naik takhta kembali pada 13 Juli 1813 hingga dilengserkan kembali pada Agustus 1813. Sementara itu, Robison dipecat dan ditahan Raffles karena mandat yang diberikannya tidak sesuai.
[sunting]
Konflik dengan Belanda
Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat Britania menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di seberang lautan sejak Januari 1803. Kebijakan ini tidak menyenangkan Raffles karena harus menyerahkan Palembang kepada Belanda. Serah terima terjadi pada 19 Agustus 1816 setelah tertunda dua tahun, itu pun setelah Raffles digantikan oleh John Fendall.
Belanda kemudian mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mendamaikan kedua sultan, SMB II dan Husin Diauddin. Tindakannya berhasil, SMB II berhasil naik takhta kembali pada 7 Juni 1818. Sementara itu, Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan Britania berhasil dibujuk oleh Muntinghe keBatavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur.
Pada dasarnya pemerintah kolonial Belanda tidak percaya kepada raja-raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang dengan alasan inspeksi dan inventarisasi daerah. Ternyata di daerah Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut SMB II yang masih setia. Sekembalinya ke Palembang, ia menuntut agar Putra Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan kesetiaan sultan kepada Belanda. Bertepatan dengan habisnya waktu ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota, SMB mulai menyerang Belanda
Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng (dari kata Muntinghe) pecah pada tanggal 12 Juni 1819. Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, di mana korban terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut hingga keesokan hari, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus, sampai akhirnya Muntinghe kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.
Belanda tidak menerima kenyataan itu. Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen merundingkannya dengan Laksamana Constantijn Johan Wolterbeek dan Mayjen Hendrik Merkus de Kockdan diputuskan mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan dilipatgandakan. Tujuannya melengserkan dan menghukum SMB II, kemudian mengangkat keponakannya (Pangeran Jayaningrat) sebagai penggantinya.
SMB II telah memperhitungkan akan ada serangan balik. Karena itu, ia menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat benteng-benteng pertahanan yang dikomandani keluarga sultan. Kelak, benteng-benteng ini sangat berperan dalam pertahanan Palembang.
Pertempuran sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819 oleh Belanda dengan tembakan atas perintah Wolterbeek. Serangan ini disambut dengan tembakan-tembakan meriam dari tepi Musi. Pertempuran baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan akhirnya kembali ke Batavia pada 30 Oktober 1819.
SMB II masih memperhitungkan dan mempersiapkan diri akan adanya serangan balasan. Persiapan pertama adalah restrukturisasi dalam pemerintahan. Putra Mahkota, Pangeran Ratu, pada Desember 1819 diangkat sebagai sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin III. SMB II lengser dan bergelar susuhunan. Penanggung jawab benteng-benteng dirotasi, tetapi masih dalam lingkungan keluarga sultan.
Setelah melalui penggarapan bangsawan ( susuhunan husin diauddin dan sultan ahmad najamuddin prabu anom )dan orang Arab Palembang melalui pekerjaan spionase, dan tempat tempat pertahanan disepanjang sungai musi sudah diketahui oleh belanda serta persiapan angkatan perang yang kuat, Belanda datang ke Palembang dengan kekuatan yang lebih besar. Tanggal 16 Mei1821 armada Belanda sudah memasuki perairan Musi. Kontak senjata pertama terjadi pada 11 Juni 1821 hingga menghebatnya pertempuran pada 20 Juni 1821. Pada pertempuran 20 Juni ini, sekali lagi, Belanda mengalami kekalahan. De Kock tidak memutuskan untuk kembali ke Batavia, melainkan mengatur strategi penyerangan.
Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jumat dan Minggu dimanfaatkan oleh dua pihak yang bertikai untuk beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia memerintahkan pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jumat dengan harapan SMB II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni, ketika rakyat Palembang sedang makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang Palembang. di depan sekali kapal yang tumpangi saudaranya Susuhunan Husin Diauddin dan Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom dan Susuhunan Ratu Bahmud Badaruddin / SMB 2 merasa serba salah, kalau ditembak saudaranya sendiri yang berada dikapal belanda dan anggapan orang sultan palembang Darussalam sampai hati membunuh saudara karena harta / tahta (Badar Darussalam
Serangan dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira di hari Minggu orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang hebat, tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah kolonialisme Hindia Belanda di Palembang.
Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam tanggal 3 Syawal , SMB II beserta sebagian keluarganya menaiki kapal Dageraad pada tanggal 4 syawal dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Pulau Ternate sampai akhir hayatnya 26 September 1852. ( selama 35 tahun tinggal di Ternate dan sketsa tempat tinggal Sri Paduka Susuhunan Ratu Mahmud Badaruddin / SMB II disimpan oleh Sultan Mahmud Badaruddin III Prabu Diradja).
[sunting]
Pranala luar
- (Indonesia) Aku Sultan Mahmud Badaruddin II
Panjang ya cerita sejarahnya
BalasPadamKurang komplit mengenai anak keturuna..dr istri2 sultan baharudin..harusnya ditulis perkawinan sultan dg istri 1,2,3,4 secara lebih rinci..jadi akan lebih memudahkan pencarian silsilah keturunan dr sultan
BalasPadam