JANGAN MAIN FITNAH
Sebagian orang di Nusantara, ada yang berusaha menyamakan golongan Asya’irah dengan Wahabi, bahwa kedua-duanya sama-sama ada yang ekstrem atau ghuluw dan ada yang moderat atau mu’tadil. Menurut Wahabi tersebut, di kalangan Asy’ariyah ada tokoh yang bernama Ibnu Tumart yang banyak membunuh orang untuk menyebarkan madzhabnya. Lalu ia mengatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi adalah seorang tokoh moderat dan mu’tadil, bukan tokoh ekstrem. Ia juga mengutip pernyataan pendiri Wahabi tersebut yang isinya tidak mengkafirkan umat Islam di luar kelompoknya.
Catatan kami terhadap pernyataan Wahabi tersebut adalah sebagai berikut:
1) Madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah berbeda dengan Wahabi, seperti perbedaan air dengan daun talas yang tidak akan dapat dipertemukan. Madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah disebarluaskan dengan ilmu pengetahuan dan kesadaran akal. Oleh karena itu, Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi bukan ulama politik dan bukan ulama yang dekat dengan kekuasaan. Penyebaran madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah, murni melalui ilmu pengetahuan.
Hal ini berbeda dengan Wahabi yang disebarkan dengan pedang dan darah. Muhammad bin Abdul Wahhab bergabung dengan Muhammad bin Sa’ud untuk membangun kerajaan Saudi Arabia dengan akidah mengkafirkan darah harta benda kaum Muslimin. Sekitar setengah juta umat Islam yang dibunuh oleh pendiri Wahabi bersama anak buahnya. Kalau Anda tidak percaya, silahkan Anda baca kitab Tarikh Najd karya Husain bin Ghannam, murid pendiri Wahabi.
Dewasa ini, ajaran Wahabi disebarkan melalui uang dan jabatan.
Sedangkan kasus tokoh Ibnu Tumart yang membunuh banyak orang untuk membangun kerajaannya, itu bukan atas rekomendasi para ulama Asya’irah. Umat Islam Asya’irah tidak pernah menjadikan Ibnu Tumart sebagai ulama mu’tabar dalam madzhab Asy’ariyah. Bahkan umat Islam tidak banyak yang mengenal ketokohan beliau.
2) Ahlussunnah Wal-Jamaah, dalam hal ini Asya’irah dan Mauturidiyah, tidak memiliki konsep takfir, pengkafiran dan penghalalan darah dan harta umat Islam di luar kelompoknya. Hal ini berbeda dengan Wahabi, yang memiliki konsep takfir terhadap umat Islam di luar golongannya. Sedangkan pembacaan sebagian Wahabi, bahwa pendiri Wahabi tidak mengkafirkan umat Islam, itu adalah pembacaan yang sepotong terhadap kitab al-Durar al-Saniyyah dan belum pernah membaca dengan kepala yang dingin dan hati yang jernih terhadap kitab Tarikh Najd. Orang yang membaca kitab al-Durar al-Saniyyah dan Tarikh Najd dengan kepala yang dingin dan hati yang jernih, akan berkesimpulan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikutnya adalah Khawarij ekstrem masa sekarang.
3) Dalam kitab al-Durar al-Saniyyah ada beberapa pernyataan pendiri Wahabi bahwa ia tidak mengkafirkan umat Islam di luar golongannya. Akan tetapi pernyataan tersebut bertentangan dengan hal:
Pertama) sebagian besar pernyataan pendiri Wahabi justru mengkafirkan umat Islam di luar golongannya dan bahkan mengkafirkan guru-gurunya. Sebagai contoh adalah pernyataan beliau dalam al-Durar al-Saniyyah juz 10 hlm 51 berikut ini:
وَأَنَا أُخْبِرُكُمْ عَنْ نَفْسِيْ وَاللهِ الَّذِيْ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ، لَقَدْ طَلَبْتُ الْعِلْمَ، وَاعْتَقَدَ مَنْ عَرَفَنِيْ أَنَّ لِيْ مَعْرِفَةً، وَأَنَا ذَلِكَ الْوَقْتَ، لاَ أَعْرِفُ مَعْنَى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَلاَ أَعْرِفُ دِيْنَ اْلإِسْلاَمِ، قَبْلَ هَذَا الْخَيْرِ الَّذِيْ مَنَّ اللهُ بِهِ؛ وَكَذَلِكَ مَشَايِخِيْ، مَا مِنْهُمْ رَجُلٌ عَرَفَ ذَلِكَ. فَمَنْ زَعَمَ مِنْ عُلَمَاءِ الْعَارِضِ: أَنَّهُ عَرَفَ مَعْنَى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، أَوْ عَرَفَ مَعْنَى اْلإِسْلاَمِ قَبْلَ هَذَا الْوَقْتِ، أَوْ زَعَمَ مِنْ مَشَايِخِهِ أَنَّ أَحَدًا عَرَفَ ذَلِكَ، فَقَدْ كَذِبَ وَافْتَرَى، وَلَبَّسَ عَلَى النَّاسِ، وَمَدَحَ نَفْسَهُ بِمَا لَيْسَ فِيْهِ.
“Aku kabarkan kepada kalian tentang diriku, demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, aku telah menuntut ilmu, dan orang yang dulu mengenalku meyakini aku memiliki pengetahuan, padahal aku pada waktu itu belum mengerti makna la ila illallah, dan aku tidak mengetahui agama Islam, sebelum memperoleh kebaikan yang Allah karuniakan ini. Demikian pula guru-guruku, tak seorang pun di antara mereka yang mengetahui hal tersebut. Barangsiapa yang menyangka dari ulama daerah ‘Aridh (Riyadh), bahwa ia mengetahui makna la ilaha illallah atau mengetahui makna Islam sebelum waktu sekarang ini, atau menyangka bahwa di antara guru-gurunya ada yang mengetahui hal tersebut, maka ia telah berdusta, berbuat-buat, menipu manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang tidak ada padanya.”
Pernyataan Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut mengandung beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Sebelum menyebarkan ajaran Salafi-Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahhab mengaku belum mengetahui makna la ila illallah dan belum mengerti agama Islam. Pernyataan ini secara tidak langsung menganggap bahwa dirinya termasuk orang kafir sebelum menyebarkan ajaran Salafi-Wahabi.
2. Tidak seorang pun dari ulama Riyadh dan guru-gurunya yang mengetahui makna la ilaha illallah dan mengetahui agama Islam. Pernyataan ini berarti mengkafirkan semua guru-gurunya dan semua ulama yang ada.
3. Ajaran Salafi-Wahabi yang didakwahkannya, tidak ia pelajari dari guru-gurunya, akan tetapi ia terima dari Allah sebagai karunia. Di sini kita patut mempersoalkan, bagaimana caranya Muhammad bin Abdul Wahhab menerima ajaran Salafi-Wahabi tersebut dari Allah? Apabila ia memperoleh ajaran tersebut dari wahyu, secara tidak langsung ia mengaku nabi, dan tidak ada bedanya antara dia dengan Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani. Hal ini tidak mungkin terjadi dan ia akui bagi dirinya. Apabila ia menerimanya bukan dari wahyu, maka kemungkinan ia menerimanya dari setan, dan hal ini tidak mungkin ia akui. Dan ada kemungkinan ia terima dari pikirannya sendiri, yang tidak ada jaminan bahwa hasil pikirannya tersebut dipastikan benar sebagaimana hasil pikiran para nabi. Demikian tersebut bertentangan dengan metode kaum Muslimin dalam menerima ilmu agama, dimana ilmu agama mereka terima melalui mata rantai sanad, dari guru ke guru sebelumnya secara berkesinambungan sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Paparan di atas menyimpulkan bahwa ajaran Salafi-Wahabi, berdasarkan testimoni pendirinya, tidak diperoleh dari para ulama, akan tetapi ia peroleh dari hasil pemikirannya sendiri, dan dianggapnya sebagai anugerah dari Allah, lalu kemudian ia doktrinkan kepada para pengikutnya. Karena pendiri Salafi-Wahabi tidak mengakui keilmuan para ulama, termasuk guru-gurunya sendiri. Bahkan secara terang-terangan ia mengatakan, bahwa sebelum lahirnya dakwah Salafi-Wahabi, tidak seorangpun ulama –termasuk guru-gurunya-, yang mengetahui makna la ilaha illallah dan mengetahui agama Islam. Hal ini berarti pengkafiran terhadap seluruh ulama dan umat Islam dan mengkafirkan dirinya sendiri. Kesalahan fatwa ini, telah dibantah dalam bagian sebelumnya dan terbantah dengan bahasan berikut ini.
Kedua) peperangan yang dilakukan oleh pendiri wahabi, adalah berangkat dari konsep takfir, pengkafiran dan penghalalan darah dan harta benda kaum Muslimin.
4) Mengapa pendiri Wahabi pernah mengeluarkan pernyataan bahwa ia tidak mengkafirkan umat Islam? Hal tersebut sebagai bukti ketidakaliman beliau hal ilmu agama. Syaikh al-Albani, pernah mengeluarkan pernyataan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sangat bodoh dalam bidang ilmu hadits. Di satu sisi, pendiri Wahabi adalah seorang yang temperamen, mudah marah, mudah emosi sehingga mengkafirkan orang dan menghalalkan darah umat Islam. Akan tetapi begitu para ulama menyerang sikapnya yang mudah mengkafirkan, ia pun dengan ketidakmampuannya lalu mengatakan bahwa ia tidak mengkafirkan. Dan hujjah semacam ini yang juga sering dilakukan oleh pengikutnya hingga hari ini. Wallahu a’lam.
Johor Bahru Malaysia
Tiada ulasan:
Catat Ulasan